Revolusi
Senin, 21 Februari 2011
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.
Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.
Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”
Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.
Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.
Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”
Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.
Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….
Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”
Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”
Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?
Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.
Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.
Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.
Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.
Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?
Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.
Goenawan Mohamad