Di Islandia
Senin, 17 Januari 2011
Di sebuah malam putih di Islandia, seorang anak perempuan yang dibuang ke dusun yang jauh itu diam-diam menguntit seorang gadis petani yang tiap malam pergi meninggalkan rumah untuk duduk di tepi sungai.
Si bocah mengambil tempat jauh di belakang.
Si gadis tahu.
Tapi mereka tak saling menyapa.
Di suatu saat, gadis itu mengangkat tangannya menggamit si bocah untuk mendekat. Namun anak perempuan itu tak menjawab. Ia kembali ke rumah petani tempat ia tinggal.
Novel Gudberger Bergsson, Svanurinn, yang terbit pada 1991, dan diterjemahkan Bernard Scudder sebagai The Swan, mungkin tak akan bisa ditulis pengarang yang bukan seorang Islandia. Di negeri ini, dengan 300 ribu penduduk yang tersebar di wilayah seluas 100 ribu kilometer persegi, lengang adalah kata lain dari eksistensi. Adegan di atas adalah bagian kelengangan itu.
Svanurinn bertokohkan seorang bocah kecil berumur sembilan tahun yang dihukum. Ia mencuri roti-apit dari pasar serba ada di Reykjavík. Karena itu orang tuanya mengirimnya ke pedalaman untuk tinggal dengan seorang petani yang tak dikenalnya selama beberapa bulan. Sebuah hukuman yang lazim dalam dongeng Islandia: dulu, seorang penjahat yang berbahaya biasa dikirim jauh ke udik. Di tengah belantara es dan dingin yang luas, hukuman itu sama artinya dengan pidana mati. Namun tentu saja dalam cerita Bergsson ini si upik bukan penjahat yang berbahaya dan ia tak dimaksudkan menemui maut.
Ia dimaksudkan agar jera—tapi pada akhirnya ia menemui apa yang ada dalam hidup dan dalam mati. Dalam kelengangan itu ternyata tetap saja hidup ditemani dan menggamit. Seperti adegan di malam putih itu. Milan Kundera menuliskan komentarnya tentang Svanurinn dan ia tak putus-putusnya membayangkan tangan si gadis petani yang menggamit itu: ”isyarat antara dua makhluk yang terpisah umur, tak saling memahami, tanpa apa pun untuk dikomunikasikan kecuali pesan ini: ‘Aku jauh dari kamu, tak ada yang akan kutakan kepadamu, tapi ini aku, di sini, dan aku tahu kau ada di sana.’”
Kundera menyebut Islandia sebagai ”kesendirian yang saling mengintip”. Di lanskap negeri itu, para petani memasang teropong mereka untuk mengamati para petani lain yang juga memasang teropong di kejauhan. Tapi adegan malam di tepi sungai itu menunjukkan sesuatu yang berbeda: kesendirian yang saling menyapa dalam kesendirian.
Mungkin di zaman yang sinis sekarang, di zaman ketika kekerasan, penyingkiran, penampikan, dan pembantaian hampir terjadi tiap hari, adegan antara si bocah dan si gadis terasa sentimental. Masih adakah ”kita” hari ini? Benarkah manusia bukan masing-masing yang hanya mau (atau hanya mampu) memandang orang lain dengan sebuah binokular dari jarak yang keras?
Svanurinn bukanlah sebuah kisah melankoli ketika keakraban dirindukan. Bergsson juga bercerita tentang kebersamaan yang mengandung antagonisme. Di pedalaman itu, di antara para petani itu, si upik dari Reykjavík menghadapi sebuah dunia yang tak dikenal. Pada hari pertamanya di dusun itu ia membayangkan bagaimana ia membela diri: kepalanya memuncratkan air tuba ke seantero rumah, meracuni siapa saja, manusia, binatang, juga udara.
Yang brutal dan mementingkan diri juga jadi bagian hidup sehari-hari di pedalaman yang tak padat itu. Ada seekor anak sapi yang akan disembelih. Semua bocah kecil di kampung itu bersemangat betul menyaksikan kematiannya. Beberapa saat sebelum pisau memenggal, upik kita berbisik ke kuping binatang yang akan dibunuh itu: ”Kau tahu, kau tak punya lagi banyak waktu?”
Anak-anak kampung yang lain senang mendengar pertanyaan itu, dan mereka pun bergiliran mengucapkan kalimat yang sama. Lalu si sapi kecil disembelih. Beberapa jam kemudian, tubuhnya sudah dipotong-potong dan dihidangkan di meja. Semua menyantapnya, mengunyahnya.
Sehabis makan, anak-anak itu mendatangi si induk sapi. ”Adakah ibu itu tahu bahwa pada saat itu kami sedang mencerna anaknya di perut kami?” Dengan tenang, si upik menguapkan napas dari mulutnya ke cuping hidung sang induk.
Siapakah ”kami”? Dalam kasus ini, ”kami” adalah pihak yang membunuh dan mengunyah yang lain–yang tak mungkin mengatakan bahwa yang mati itu sesuatu yang singular, yang tak tergantikan. Tapi di saat lain, si upik mengalami, meskipun tak dapat mengucapkannya, bahwa kematian adalah momen yang membuat diri terbatas tapi unik. Di salah satu adegan ia berdiri membungkuk memandang air biru rawa. Ia bayangkan tubuhnya lumer dan menghilang di kebiruan itu. Akan meloncat masukkah ia ke rawa itu? Ia bertanya dalam hati. Ia angkat kakinya. Di permukaan air, ia lihat bayangan sol sepatunya yang aus….
Umurnya baru sembilan. Tapi sepatu itu bagian dari cerita perjalanannya yang tak akan terulang, apalagi pada sol sepatu lain. Di saat itu, ia kesendirian, ia fana, tapi ia berarti. Tapi mungkinkah kesendirian bisa berarti di dusun itu?
Pada hari pesta petani, si upik melihat para lelaki menelungkup menutupi para perempuan dengan tubuh mereka. Ia mengira, orang-orang sedang melindungi orang lain dari curah hujan yang mengancam turun. Langit gelap.
Di muka bumi, pelbagai tubuh saling menyentuh, pelbagai sol sepatu menapak. Mereka muncul di ruang yang sama, namun tak ada yang cuma jadi fotokopi yang lain.
Ada yang mengatakan bahwa ”singularitas” itu, dalam kebersamaan di muka bumi, dengan sendirinya berbagi. ”Toi partage moi,” kata Jean-Luc Nancy. Tapi tak ada yang total: antagonisme berkecamuk, dan pada saat yang sama punya batas. Antara hidup dan mati ada malam-malam ketika seseorang menggamit seorang lain, ingin mengucapkan apa yang tak terucapkan: ”Datanglah, aku tahu kau di sana.”
Goenawan Mohamad