Izinkan Aku Meminjam Mataharimu ini berkisah seorang dokter yang mengidap Leukemia Myeloblastik Akut. Penderitaan dokter membuat seorang perawat jatuh iba dan berniat menjadikannya sebagai istri kedua. Tak pelak, sang dokter terjerat dalam konflik batin yang cukup berat.
Akhirnya setelah tergoncang-goncang menempuh perjalanan darat selama hampir 12 jam dari Banjarmasin, ditambah setengah jam menyeberang laut, sampai juga aku di tempat tugasku.
Inilah Lontar, desa sangat terpencil di pelosok kabupaten Kotabaru, Pulau Laut Kalimantan Selatan. Sebuah desa elok di pinggir pantai dan dikelilingi perbukitan yang masih segar dan hijau, jauh dari polusi.
Aku masih bisa melihat hutan-hutan tropis yang rimbun di pinggir bukit sepanjang perjalanan, bergantian dengan hutan bakau di tepian pantai.
Laut yang masih biru, pasir pantai yang masih putih disertai desir ombak yang tenang membawa sejuta hawa kesejukan merasuk relung jiwaku. Mengusir kepenatan tubuhku setelah perjalanan yang berat.
Rasa penat yang kurasakan telah benar-benar menghilang setelah kumandi dan keramas, terasa segar. Hidungku tadi sedikit berdarah, tapi seperti biasa dapat kutangani dengan baik. Rupanya perjalanan tadi benar-benar membuatku kecapekan, sampai-sampai hidungku pun berdarah.
Untunglah sebagai dokter PTT, aku mendapatkan rumah dinas yang sudah dipersiapkan dengan baik dan bersih. Meskipun hanya terbuat dari papan, seperti layaknya rumah-rumah di daerah Kalimantan, tetapi lantainya keramik. Cukuplah untukku yang tinggal seorang diri dan masih awam di daerah ini.
Rumah dinasku terdiri atas 2 kamar tidur yang sama besar, ruang makan yang terpisah dari dapur dan ruang tamu yang cukup luas, serta sebuah kamar mandi.
Mungkin ruang tamu itu nanti akan kugunakan pula untuk praktekku, tapi nantilah kupikirkan lagi. Kontrakku sebagai dokter pegawai tidak tetap Departemen Kesehatan atau dokter PTT berlangsung selama setahun, jadi masih banyak waktu untukku menata ulang rumah ini.
Hari yang sangat cerah. Matahari tidak malu-malu lagi menunjukkan batang hidungnya, meskipun ini baru jam delapan pagi. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Sekilas kulihat bangunan puskesmas di samping rumahku, terbuat dari tembok dan tidak begitu besar.
Temboknya dicat putih, khas tempat-tempat pelayanan orang sakit, dengan sedikit pemanis hijau pada kusen pintu dan jendela. Di samping rumah dinasku sendiri ada dua bangunan papan yang lebih kecil, ditempati bidan dan perawat.
Aku tahu, karena kemarin bidan yang tinggal di sebelah rumahku itulah yang menyambutku, sambil menerangkan sekilas komplek puskesmas ini. Namanya bidan Aisyah.
Bidan Aisyah adalah seorang wanita yang ramah, tidak terlalu tinggi dan sedikit gemuk, wajahnya bulat seperti bulan purnama. Selalu tersenyum setiap kali selesai bicara dan berbicara dalam bahasa Indonesia berlogat Banjar, sehingga huruf ’r’ di tengah kalimat seperti ditelan kembali.
Sorot matanya teduh, semakin memperkuat sosok keibuannya, mungkin dia berusia sekitar tiga puluhan ke atas.
”Esok kita perkenalan dulu Bu ai, tidak perlu bekerja dululah.” Pesannya padaku kemarin sore sambil mengantarkan air hangat untukku.
Belakangan kutahu, orang Banjar selalu menambahkan akhiran ’lah’ pada kebanyakan kalimatnya dan tambahan ’ai’ untuk sebutan kepada orang lain.
Pagi itu semua orang sudah berkumpul di ruang kepala puskesmas untuk penyambutanku.
”Assalamualaikum, nama saya dokter Melati Febriyani, boleh memanggil saya dokter Melati atau dokter Febri, terserah saja mana yang enak. Saya datang dari Malang, Jawa Timur, kontrak saya setahun, masih single, umur saya 25 tahun.”
Beberapa perawat pria mulai berkomentar, tapi bidan Aisyah segera mengingatkan agar mereka diam. Setelah itu, aku melanjutkan lagi perkenalanku
”Saya baru lulus 3 bulan yang lalu, jadi ya masih belum banyak pengalaman. Mohon nanti rekan-rekan perawat dan bidan banyak membantu saya, terimakasih. Wassalamualaikum.”
”Masih single beneran dok? Belum punya pacar, tunangan atau semacamnya?” Seorang perawat pria seumuranku yang wajahnya di atas rata-rata rekan-rekannya, mencercaku dengan pertanyaan yang membuatku tersenyum simpul.
”Tidak ada yang mau sama saya,” jawabku masih tersenyum. Ruangan jadi riuh kembali.
”Maaf Bu ai, dia ini playboy kampung kami yang sukses sekolah jadi perawat,” jelas seorang perawat pria yang lebih tua. Semua orang di ruangan tertawa, termasuk aku. Entah kenapa saat melihat sorot mata perawat pria itu aku terpesona, merasakan keteduhan dan kedamaian.
”Nama saya Mizan Dok,” perawat pria itu mengenalkan namanya. Mungkin dia menyadari pandangan mataku yang tertuju terus padanya, ”Umur saya baru 28 tahun, tetai sudah dobel dok, satu istri.”
Bidan Aisyah nyengir, beberapa yang lainnya tertawa, aku cukup tersenyum saja.
Akhirnya untuk mempersingkat waktu, Bidan Aisyah sebagai pejabat sementara kepala puskesmas mengenalkan satu-satu para pegawai puskesmas Lontar.
Puskesmas ini memiliki 2 perawat, keduanya pria yaitu Mizan dan Dimas. Bidannya dua orang, bidan Aisyah sendiri dan bidan Yenni, tetapi pada hari-hari tertentu bidan Yenni tidak di tempat karena harus ke puskesmas pembantu atau pustu. Ditambah satu orang analis laboratorium merangkap kepala tata usaha.
Seorang lulusan asisten apoteker yang bertugas di bagian obat. Seorang petugas kebersihan, dan seorang lagi sebagai petugas administrasi dan rekam medis.
Jadi total ada sembilan orang termasuk aku di puskesmas ini, belum termasuk perawat dan bidan yang tersebar di lima puskesmas pembantu.
**********
Hari sudah menjelang sore, badanku rasanya capek sekali meskipun pagi tadi tidak banyak kegiatan yang berarti. Setelah perkenalan aku hanya berbincang-bincang sebentar dengan bidan Aisyah, perawat Mizan dan Dimas.
Kemudian bidan Aisyah membantu menata barang-barang yang kubawa dari Malang semalam, dan barang-barang itu pun tidak banyak. Rasanya minum multivitamin dan mandi akan menghilangkan rasa capek ini.
Selepas mandi, aku mengaca untuk memeriksa gusiku. Tadi gusiku berdarah lagi di kamar mandi. Kubilang berdarah lagi karena beberapa hari belakangan ini gusiku sudah mulai sering berdarah, terutama jika aku terlalu bersemangat menggosok gigi-geligiku. Minimal dua hari sekali, bagian tubuhku berdarah, kalau tidak dari gusi ya hidung.
Atau jika terbentur sesuatu, bagian tubuhku itu akan langsung memar dan melebar tidak normal, akibat terjadinya perdarahan di bawah kulit. Tetapi aku masih sedikit beruntung, belum sampai terjadi perdarahan spontan di bawah kulit seperti yang pernah kualami 7 tahun yang lalu.
Aku memang didiagnosa Leukemia Myeloblastik Akut saat berumur 18 tahun, bertepatan dengan pengumuman kelulusan SMA. Pagi bangun tidur aku merasa khawatir dengan tubuhku yang tiba-tiba memar-memar.
Dari ujung mata kaki sampai paha muncul pulau-pulau kecil berwarna biru kemerahan, tidak hanya itu di lengan atas juga muncul memar serupa.
Tetapi aku, pagi itu tidak berani membangunkan ayah, hanya untuk mengadukan masalah memarku. Ayah baru pulang dini hari tadi dari Makassar.
Tugas beliau sebagai manager senior di salah satu bank swasta di Malang, membuatnya harus sering keliling keluar kota.
Aku terduduk dalam diam sepanjang perjalanan ke sekolahku, untung sopirku tidak terlalu memperhatikan perubahan pada kakiku, kaos kaki dan rok sekolahku dapat sedikit menutupinya.
Aku ingat betul, guruku pun belum memulai memberikan pengumuman perihal kelulusan, beliau masih asyik dengan berkas-berkas di mejanya, tepat di samping kanan papan tulis.
Teman-temanku sedang asyik ribut sendiri, mempertanyakan nasib mereka masing-masing, apakah lulus atau tidak. Sedangkan aku, dalam diamku sedang mengkhawatirkan keadaan tubuhku yang tiba-tiba memar ini, tidak terbersit sedikitpun mengenai kelulusan ini.
Lalu mendadak terasa cairan hangat keluar dari hidungku. Hidungku berdarah. Teman sebangkuku histeris, pagi itu pengumuman kelulusan tertunda gara-gara aku.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, darah terus keluar dari hidungku, meskipun sudah dipasang tampon di ruang UKS tadi. Keadaanku semakin menakutkan, karena kini darah segar keluar dari kedua pelupuk mataku.
Aku seperti sedang menangis darah. Aku memang menangis karena ketakutan, dan aku semakin takut karena menangispun aku mengeluarkan darah.
Rasanya saat itu aku ingin pingsan saja, agar tidak melihat dan merasakan keadaanku. Tetapi aku tetap sadar, tetap merasakan rembesan darah mulai turun ke tenggorokanku juga.
Beberapa tahun kemudian, setelah kuliah di kedokteran aku baru tahu ada saluran dari lubang hidung yang berhubungan dengan saluran airmata, sehingga darah yang keluar dari mataku itu sebenarnya adalah darah dari hidungku.
Di rumah sakit Syaiful Anwar Malang, setelah melalui serangkaian pemeriksaan panjang dan melelahkan, akhirnya dokter memberitahu ayahku mengenai penyakitku. Aku menderita penyakit yang sama dengn penyakit yang telah merenggut nyawa bundaku.
Kami sama-sama menderita leukemia, lebih tepatnya lagi tipe leukemia myeloblastik akut. Kanker darah yang berlangsung sangat cepat, ditandai oleh peningkatan sel-sel darah muda di peredaran darah.
Masalahnya adalah, sel-sel darah ini belum saatnya beredar di tubuh, mereka seharusnya masih di sumsum tulang, di pabrik tempat sel-sel muda itu baru dibuat.
Tentara-tentara muda itu telah berhasil mengkudeta tentara-tentaraku yang masih sehat, yang masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Hasil akhirnya adalah, terjadinya kekacuan di dalam tubuhku. Aku yang mestinya tidak mengalami perdarahan spontan di kulit, menjadi mengalaminya karena trombositku telah berhasil di kudeta oleh sel-sel darah muda tadi.
Tok..Tok. ”Assalamualaikum, dokter Febri!” Suara laki-laki setengah berteriak di depan pintu rumahku membuyarkan lamunanku.
”Wa’alaikumsalam,” jawabku sambil membukakan pintu.
”Oo…Kak Mizan, ada apa ya?”
Tadi kami sudah sepakat di puskesmas untuk memanggil yang tua dengan menggunakan sebutan Kak, bukan Pak, toh umur kami tidak jauh berbeda.
Aku pun tidak keberatan, agar kami semua pegawai puskesmas dapat menjadi sebuah tim, tidak perlu merasa terlalu tua dan terlalu muda.
”Ini, katanya tadi piyan minta dipasangkan TV kabelnya dan membenarkan beberapa kabel listrik yang berantakan,” jawab kak Mizan dengan membawa kabel serta tas berisi peralatan pertukangan.
Orang Banjar menyebut anda dengan piyan, saya dengan ulun dan beliau dengan sidin.
”Lho tadi katanya Dimas yang mau mengerjakan?” Tadi siang Dimas sudah meyakinkanku bahwa dialah yang akan merapikan instalasi listrik di rumahku.
”Dimas lupa kalau sore ini ada jadwal kencan dok ai, jadilah ulun nang mewakili,” jawab kak Mizan dengan logat Banjar yang kental.
Sembari bekerja, kak Mizan banyak bercerita tentang hal-hal menyenangkan di puskesmas. Tingkah laku para pegawai, pasien-pasien dan kebiasaan-kebiasaan yang belum kuketahui di puskesmas.
Dari kak Mizanlah kuketahui bahwa seberapa banyak dan seberapa parah pun pasien yang datang di puskesmas, ya hanya dua orang perawat itu saja yang menangani.
Pernah suatu ketika ada dua orang korban luka bacokan, datang malam hari, saat lampu mati. Di desa ini lampu memang menyala setiap dua hari sekali, itupun jika menyala hanya 12 jam saja.
Korban pertama datang dengan luka di tangan sedalam pelapis tulang dan sepanjang kira-kira 15 sentimeter melingkar di telapak tangan. Sementara yang satunya terkena bahu kirinya, sedalam otot dan selebar 20 sentimeter.
Jadilah satu perawat satu pasien, mengerjakan dengan bantuan lampu dari mesin jenset. Tak bisa kubayangkan sulitnya hal itu, apalagi luka di tangan, di situ banyak sekali struktur rumit yang bertanggungjawab terhadap gerakan tangan.
Meskipun hanya otot dan jaringan ikat tendon, tetapi menjahit sendirian tentu melelahkan. Apalagi menjahit tendon penghubung otot dengan struktur yang liat seorang diri, tak dapat kubayangkan.
Selama praktek di rumah sakitpun, belum pernah kumelihat dokter seniorku mengerjakan seorang diri dengan mudah. Belum lagi mengontrol perdarahan seorang diri. Keterbatasan di daerah terpencillah yang membuat kedua perawatku ini perlu diacungi jempol.
Sambil menyiapkan teh hangat untuknya, aku mengamati wajah kak Mizan. Wajahnya putih, bersih khas orang Banjar, begitu juga kulitnya. Alisnya tebal dengan sorot mata yang tajam namun meneduhkan.
Dalam keteduhan itu seakan tersimpan rasa sabar dan kasih sayang yang besar. Didukung pula oleh sifatnya yang ramah dan senang bercanda. Badannya tinggi besar, berbeda dengan Dimas yang cenderung kurus.
Tingginya mungkin sekitar 175 sentimeter, karena dia lebih tinggi dariku yang berukuran 167 sentimeter. Dia mulai membereskan pekerjaannya, kabel-kabel listrik yang semula terlihat kacau disana-sini, sekarang menjadi lebih rapi dan sedap dipandang. Maklum penghuni baru tentu seleranya baru juga, begitu komentar kak Mizan sambil memasukkan palu mengakhiri pekerjaannya.
”Ini tehnya kak,” aku berusaha memberikan cangkir teh ke tangannya, tapi lenganku kiriku membentur lemari kecil yang tadi sengaja digeser kak Mizan dan belum dikembalikan ke tempat semula.
”Aduh!” aku mengaduh kesakitan sambil memegangi sikuku yang mulai memar. Kuberharap kak Mizan tidak mengetahuinya, kalaupun tahu semoga dia menganggap memar ini hal yang lumrah.
”Dokter Febri tidak apa-apakah?” tanyanya dengan raut khawatir karena aku mencoba menutupi siku kiriku. Aku tidak sempat menghindar saat kak Mizan berupaya meraih tangan kiriku, memeriksanya.
”Dokter Febri, kenapa jadi seperti ini? Astaghfirullah, memarnya kok langsung lebar begitu dok?” raut khawatirnya mulai menimbulkan kecurigaan terhadap bentuk memarku yang memang tidak sebanding untuk ukuran benturan yang ringan.
Di tempat tugasnya yang baru, dokter Melati Febriani langsung akrab dengan stafnya. Yaitu bidan Aisyah dan dua perawat, Dimas dan Mizan. Dari mereka, dokter Melati belajar banyak tentang kondisi sosial masyarakat setempat.
Pernah suatu ketika ada dua orang korban luka bacokan, datang malam hari, saat lampu mati. Di desa ini lampu memang menyala setiap dua hari sekali, itupun jika menyala hanya 12 jam saja.
Korban pertama datang dengan luka di tangan sedalam pelapis tulang dan sepanjang kira-kira 15 sentimeter melingkar di telapak tangan. Sementara yang satunya terkena bahu kirinya, sedalam otot dan selebar 20 sentimeter.
Jadilah satu perawat satu pasien, mengerjakan dengan bantuan lampu dari mesin jenset. Tak bisa kubayangkan sulitnya hal itu, apalagi lukanya di tangan. Di situ banyak struktur rumit yang bertanggungjawab terhadap gerakan tangan.
Meskipun hanya otot dan jaringan ikat tendon, tetapi menjahit sendirian tentu melelahkan. Apalagi menjahit tendon penghubung otot dengan struktur yang liat seorang diri, tak dapat kubayangkan.
Selama praktik di rumah sakitpun, belum pernah kumelihat dokter seniorku mengerjakan seorang diri dengan mudah. Belum lagi mengontrol perdarahan seorang diri. Keterbatasan di daerah terpencillah yang membuat kedua perawatku ini perlu diacungi jempol.
Sambil menyiapkan teh hangat untuknya, aku mengamati wajah kak Mizan. Wajahnya putih, bersih khas orang Banjar, begitu juga kulitnya. Alisnya tebal dengan sorot mata yang tajam namun meneduhkan.
Dalam keteduhan itu seakan tersimpan rasa sabar dan kasih sayang yang besar. Didukung pula oleh sifatnya yang ramah dan senang bercanda. Badannya tinggi besar, berbeda dengan Dimas yang cenderung kurus.
Tingginya mungkin sekitar 175 sentimeter, karena dia lebih tinggi dariku yang berukuran 167 sentimeter. Dia mulai membereskan pekerjaannya, kabel-kabel listrik yang semula terlihat kacau di sana-sini, sekarang menjadi lebih rapi dan sedap dipandang. Maklum penghuni baru tentu seleranya baru juga, begitu komentar kak Mizan sambil memasukkan palu mengakhiri pekerjaannya.
”Ini tehnya kak,” aku berusaha memberikan cangkir teh ke tangannya, tapi lenganku kiriku membentur lemari kecil yang tadi sengaja digeser kak Mizan dan belum dikembalikan ke tempat semula.
”Aduh!” aku mengaduh kesakitan sambil memegangi sikuku yang mulai memar. Kuberharap kak Mizan tidak mengetahuinya, kalaupun tahu semoga dia menganggap memar ini hal yang lumrah.
”Dokter Febri tidak apa-apakah?” tanyanya dengan raut khawatir karena aku mencoba menutupi siku kiriku. Aku tidak sempat menghindar saat kak Mizan berupaya meraih tangan kiriku, memeriksanya.
”Dokter Febri, kenapa jadi seperti ini? Astaghfirullah, memarnya kok langsung lebar begitu dok?” raut khawatirnya mulai menimbulkan kecurigaan terhadap bentuk memarku yang memang tidak sebanding untuk ukuran benturan yang ringan.
Memar itu melebar dari atas siku sampai kira-kira 5 sentimeter di bawah siku, memang tidak sakit, tapi bentuknya mengkhawatirkan.
Sesaat kulihat tatapan mata kak Mizan begitu sedih, sorot matanya tidak hanya menunjukkan kekhawatiran, tapi juga rasa pedih mendalam yang sulit dijelaskan.
Aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Dia menjadi salah tingkah ketika menyadari telah memegangi tanganku dan memandanginya dalam waktu yang lama.
”Sudahlah Kak, gak papa kok, saya memang begini, bawaan dari kecil. Mungkin saya memang tercipta dengan pembuluh darah yang tipis.”
Aku berusaha mencari-cari alasan untuk melogika memarku sambil mengembalikan suasana supaya lebih nyaman. Kak Mizan hanya tersenyum simpul sambil membetulkan letak lemari tadi.
”Hati-hati ya Dok” Pinta kak Mizan lagi-lagi dengan pandangan yang sulit kumengerti.
Sudah tiga hari ini aku masuk kerja dengan kemeja lengan panjang untuk menutupi luka memarku yang kemarin, serta celana katun model pipa. Rambut panjang sebahuku kuikat rapi ke belakang.
Penampilanku ini akan kupertahankan untuk beberapa lama sampai luka memarku hilang dan pucat wajahku memudar. Mungkin suatu saat nanti rambutku ini akan kupotong pendek saja supaya saat tubuhku mengurus nanti wajahku tidak terlalu nampak tirus.
Aku juga berharap kak Mizan tidak bertanya-tanya lagi tentang luka memarku. Memang sudah tiga hari pula aku tidak berjumpa dengannya, karena jadwal posyandunya penuh. Kalaupun berjumpa hanya sesaat saja sewaktu dia menyiapkan vaksin pagi hari, sebelum berangkat ke posyandu.
Puskesmas tempatku bekerja adalah puskesmas induk dari kecamatan Pulau Laut Barat, yang membawahi 21 desa.
Meskipun jumlah perawat dan bidan kami termasuk yang di puskesmas pembantu ditambah aku sebagai seorang dokter tidak sampai 20, hanya 12 orang saja untuk melayani lebih dari sembilan belas ribu penduduk yang tersebar di 21 desa, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya.
Akibat terbatasnya tenaga kesehatan yang bersedia bekerja di daerah terpencil, maka keberadaan mereka sangat tidak sebanding terhadap jumlah penduduk, apalagi jika ditambah dengan medan berat yang menjadi ciri khas geografis daerah ini.
Posyandu ke tempat-tempat sulit pun tiap bulan di jalani, melewati jalan berbukit yang menanjak, jalan tanah yang belum beraspal dan becek jika musim hujan.
Atau jalan beraspal dengan lubang yang besar, dan menjadi tempat jebakan yang sempurna di musim hujan karena lubangnya tidak terlihat tertutup air.
Wajar saja Kak Mizan dan bidan Aisyah harus berangkat pagi-pagi sekali menyiapkan vaksin dan makanan pendamping asi untuk para balita, sambil menggunakan jaket dan sepatu boot serta helm teropong.
Mereka memang lebih memilih menggunakan sepeda motor, karena medannya tidak bersahabat terhadap mobil pusling. Demi keselamatan diri sendiri, begitu alasan mereka ketika kumempertanyakan atribut dan pilihan itu.
”Dok gimana memarnya?” Tiba-tiba kak Mizan sudah berada di belakangku. Suaranya pelan, namun masih menyimpan rasa khawatir.
”Oh, Alhamdulillah sudah membaik,” aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku dengan tidak melihat ke arahnya dan tetap fokus memeriksa pasien yang sedang berbaring di depanku.
”Kok masih memakai lengan panjang dok?” Lagi-lagi kalimat tanyanya mengejutkanku. Kenapa dia perhatian sekali sampai ke baju yang aku pakai. Ya Tuhan, kenapa pula hatiku jadi berdebar-debar.
”Ehm…biar kelihatan cantik” jawabku sekenanya, sambil mempersilahkan pasienku duduk lagi dan aku mulai menuliskan resep untuknya. Aku masih belum memandang mata kak Mizan, aku takut ketahuan kalau sedang gugup.
”Ini bu, resepnya serahkan ke bagian obat di ujung. Sementara kurangi mengkonsumsi garam dulu ya. Minimal hanya ¼ sendok teh sehari, karena tekanan darah Ibu 170/100 lo!” Aku berusaha mengalihkan perhatiannya.
”Dokter pakai apapun tetap kelihatan cantik pang” logat Banjar kak Mizan meluncur tanpa beban dari bibirnya.
Aku langsung menatap wajahnya, tidak lagi menghindarinya. Aku tahu dia tidak bermaksud tidak sopan, tapi spontanitasnya itu membuatku semakin terkejut. Aku hanya tersenyum, sambil memandang wajahnya. Tidak ada sorot mata seperti kemarin, atau sorot mata nakal menggoda, jadi aku menyimpulkan itu hanya pujian kak Mizan yang tulus.
”Dokter Febri, ulun sudah siapkan vaksin dan semua keperluan untuk Posyandu, tinggal menunggu komando piyan untuk berangkat,” Dimas berseru padaku dari ruang tempat penyimpanan vaksin.
Ini kegiatan posyanduku yang kedua setelah satu bulan bertugas di sini. Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Dimas begitu bersemangat.
Dari pengalamanku posyandu yang kemarin, ibu-ibu baru berdatangan sekitar jam sepuluhan, itu pun setelah dipanggil-panggil oleh kader posyandu. Menurut bidan Yenni yang menemaniku, para ibu-ibu itu biasanya memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dulu, baru ke posyandu.
”Dokter berangkat dengan Dimas ya, tempatnya jauh, satu jam perjalanan, tetapi jalannya tidak begitu rusak. Jadi naik mobil pusling saja, lebih cepat dok.” Kak Mizan seakan-akan memberikan alasan kepadaku kenapa pagi-pagi Dimas sudah bersemangat.
”Ok, Dimas kita berangkat sekarang saja yuk!” Seruku pada Dimas. Kak Mizan hari ini menggantikanku memeriksa pasien puskesmas di balai pemeriksaan.
”Dokter Febri, hati-hati ya, jangan kecapekan. Biar Dimas saja yang mengimunisasi, piyan duduk saja memeriksa,” kak Mizan berpesan padaku seperti dahulu ayahku mengingatkanku agar aku tidak terlalu aktif.
Istilah ayahku, kerjakan yang wajib-wajib saja, yang sunnah tidak perlu jika kecapekan. Ahh, ayah…Melatimu sangat merindukanmu.
”Dimas, ikam kadak boleh laju-lajulah, sidin kadak kawak kauyuhan!” Kak Mizan berpesan kepada Dimas agar berhati-hati membawa mobil, karena aku tidak boleh kecapekan. Dimas yang dinasehati, hanya mengangguk-anggukkan kepala saja sambil berjalan menuju mobil pusling.
Dalam perjalanan aku lebih banyak diam, karena aku sedang berpikir. Aku merenungkan sikap kak Mizan selama ini, perhatian-perhatian kecilnya, sikapnya memperlakukan aku, lebih dari sekedar perhatian atas rasa hormat perawat terhadap dokternya.
Dimas juga perhatian terhadapku tetapi rasanya berbeda dengan kak Mizan. Dimas sering menanyakan aku sudah makan atau belum, lalu dengan suka rela membelikan makanan yang kuinginkan, tetapi sorot mata Dimas berbeda dengan sorot mata kak Mizan.
Sebagai wanita aku dapat merasakan sesuatu yang lain di balik sorot matanya. Sering jika malam ada pasien kecelakaan kak Mizan selalu menungguiku sampai aku masuk rumah dan mematikan lampu kamarku.
Pernah suatu saat aku mendapatinya masih menungguku di luar, padahal aku sudah setengah jam di dalam rumah dan saat itu jam satu dinihari. Lampu memang belum kumatikan, karena aku masih sibuk mengurusi hidungku yang berdarah, setelah hampir satu jam menjahit pasien luka dicabik-cabik babi hutan liar.
Karena lampuku masih menyala itulah membuat kak Mizan mengetuk pintuku berkali-kali dan terpaksa kubukakan pintu dengan hidung yang berdarah-darah sebelum dia mendobrak pintuku.
Dini hari itu kak Mizan memasangkan tampon anterior di lubang hidungku, suatu sumbat yang terbuat dari kasa pipih panjang yang dimasukkan ke lubang hidung untuk menyumbat perdarahan. Jam enam pagi dia masih sempat mengirimkan SMS padaku, menanyakan apakah hidungku masih berdarah atau tidak.
Sudahlah, apa yang sedang kupikirkan sekarang ini. Mungkin aku hanya terbawa perasaan kesepian, sehingga menjadi lebih melankolis. Mungkin kak Mizan memang benar-benar kasihan kepadaku, seorang perempuan yang sendirian di desa sangat terpencil.
Lagi pula kak Mizan sudah beristri dan kata orang-orang di puskesmas istrinya cantik seperti model Kinaryosih. Aku memang belum pernah bertemu dengan istrinya.
Oleh karena itu aku tidak boleh berandai-andai apapun tentang kak Mizan. Seandainya ayah masih ada, mungkin aku tidak akan nekat mengabdi di tempat terpencil ini, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota dengan segala modernitasnya, dan mengalami gundah gulana seperti ini.
”Dok, kok diam aja sih? Gak seru!” Dimas memecah kesunyian.
Aku tersenyum kecil mendengar komentarnya yang mirip anak kecil. Dimas memang masih muda, satu tahun di bawahku. Dimas juga satu-satunya yang paling fashionable diantara pegawai-pegawai puskesmas.
Dia juga satu-satunya pegawai yang mengerti bahasa Jawa, karena ayah dan ibunya asli orang Jawa yang eksodus ke Kalimantan Selatan. Sehingga wajar saja namanya Dimas, tidak ada bau Banjarnya sama sekali.
Dimas sudah kuanggap adik yang tidak pernah kumiliki, karena aku anak tunggal. Kami sering bercerita tentang gosip artis terbaru atau model baju yang lagi in. Seandainya Dimas hidup di kota besar sekarang ini, mungkin di sudah menjadi pria metroseksual.
”Dokter Febri jangan senyum-senyum saja, tambah cantik, bingung deh saya,” goda Dimas kepadaku tanpa bermaksud nakal.
”Lha kenapa kok kamu jadi bingung mas? Ndak nyambung ah,” aku bukan hanya tersenyum saja, tetapi malah jadi tertawa melihat ekspresi wajah Dimas yang dibingung-bingungkan.
”Tuh kan jadi bingung, dokter ini tersenyum atau tertawa lebar tetap saja cantik.” Aku berpura-pura memasang wajah marah ke Dimas karena terus menggodaku. Tetapi Dimas tidak memperhatikanku, karena dia terus saja mengoceh.
”Seandainya dokter datang ke sini enam bulan yang lalu, mungkin saya lebih memilih dokter daripada tunangan saya. Karena dokter Febri benar-benar tipe wanita impian saya dok. Cantik, tinggi, putih bersih, langsing, berambut panjang hitam dengan mata besar seperti bola pingpong dan alis tebal yang indah,” wajah Dimas menjadi serius
”Tapi mungkin Dokter yang tidak mau sama saya ya? Siapalah saya ini ya dok, pede sekali!” Dimas terbahak-bahak sendirian.
”Atau malah Dimas yang tidak mau? Pacarku dulu meninggalkanku lo Mas. Kalau seorang lelaki mengenalku, dan mengetahui aku yang sebenarnya pasti dia langsung meninggalkanku. Hanya ayahku saja yang tulus menyayangi. Meski akhirnya beliau meninggalkanku juga, ” semua kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Dimas sebentar lagi akan mengetahui betapa aku sebatang kara dan mencari pelarian ke daerah terpencil ini.
”Maksudnya dok, kenapa semua lelaki meninggalkan dokter?” Dimas masih belum menangkap sinyal itu.
”Ayahku meninggal dua bulan sebelum aku berangkat PTT ke sini Mas, kecelakaan. Sebuah kehilangan yang tiba-tiba dan begitu menyakitkan. Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Bundaku juga sudah meninggal tanpa kusempat mengenalnya dengan baik, bahkan sebelum aku meminum air susunya. Beliau meninggal saat melahirkanku mas.”
Secara tidak sengaja, lengan kiri dr Febri terbentur meja dan berdarah. Benturan itu meninggalkan memar yang cukup lebar. Memar yang melebar itu membuat Mizan mulai curiga dr Febri menyembunyikan penyakit.
Dimas sudah kuanggap adik yang tidak pernah kumiliki, karena aku anak tunggal. Kami sering bercerita tentang gosip artis terbaru atau model baju yang lagi in. Seandainya Dimas hidup di kota besar sekarang ini, mungkin di sudah menjadi pria metroseksual.
”Dokter Febri jangan senyum-senyum saja, tambah cantik, bingung deh saya,” goda Dimas kepadaku tanpa bermaksud nakal.
”Lha kenapa kok kamu jadi bingung mas? Ndak nyambung ah,” aku bukan hanya tersenyum saja, tetapi malah jadi tertawa melihat ekspresi wajah Dimas yang dibingung-bingungkan.
”Tuh kan jadi bingung, dokter ini tersenyum atau tertawa lebar tetap saja cantik.” Aku berpura-pura memasang wajah marah ke Dimas karena terus menggodaku. Tetapi Dimas tidak memperhatikanku, karena dia terus saja mengoceh.
”Seandainya dokter datang ke sini enam bulan yang lalu, mungkin saya lebih memilih dokter daripada tunangan saya. Karena dokter Febri benar-benar tipe wanita impian saya dok. Cantik, tinggi, putih bersih, langsing, berambut panjang hitam dengan mata besar seperti bola pingpong dan alis tebal yang indah,” wajah Dimas menjadi serius
”Tapi mungkin Dokter yang tidak mau sama saya ya? Siapalah saya ini ya dok, pede sekali!” Dimas terbahak-bahak sendirian.
”Atau malah Dimas yang tidak mau? Pacarku dulu meninggalkanku lo Mas. Kalau seorang lelaki mengenalku, dan mengetahui aku yang sebenarnya pasti dia langsung meninggalkanku. Hanya ayahku saja yang tulus menyayangi. Meski akhirnya beliau meninggalkanku juga.”
Semua kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dimas sebentar lagi akan mengetahui betapa aku sebatang kara dan mencari pelarian ke daerah terpencil ini.
”Maksudnya dok, kenapa semua lelaki meninggalkan dokter?” Dimas masih belum menangkap sinyal itu.
”Ayahku meninggal dua bulan sebelum aku berangkat PTT ke sini Mas, kecelakaan. Sebuah kehilangan yang tiba-tiba dan begitu menyakitkan. Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Bundaku juga sudah meninggal tanpa kusempat mengenalnya dengan baik, bahkan sebelum aku meminum air susunya. Beliau meninggal saat melahirkanku mas.”
Tanpa terasa ada sedikit darah di hidungku, aku cepat-cepat menghapusnya dengan tissue. Aku tidak ingin Dimas tambah kasihan padaku, seperti kak Mizan.
”Jangan menangis Dok, ada Dimas di sini, anggap saya ini sahabat atau adik dokter atau apalah pokoknya. Saya mau kok jadi tempat curhat dokter.”
Dimas mengira aku sedang menangis karena mengambil tissue, dan melupakan topik kenapa semua lelaki meninggalkanku.
”Asal bukan TTM saja Mas, kasihan tunanganmu” jawabku sambil tertawa memecah kesedihan. Dimasnya hanya memayunkan muka saja.
Angin bertiup kencang di luar sana, mendesau-desau seakan hendak mengangkat akar-akar pohon dari tanah sekaligus menerbangkan seluruh isi desa.
Menurut Bidan Aisyah, bulan-bulan September hingga Desember angin selalu bertiup kencang dan air laut pasang dengan gelombang yang besar. Penduduk lokal menamainya angin tenggara, saat-saat para nelayan enggan melaut, angin mnerbangkan banyak kuman dan bibit penyakit.
Saat-saat penyakit saluran nafas serta diare mulai mengancam. Tahun lalu, diare telah menjadi momok bagi seluruh petugas kesehatan di wilayah kerja puskesmas Lontar, karena banyak menelan korban jiwa sehingga ditetapkan sebagai kejadian luar biasa.
Artinya seluruf staf puskesmas harus siaga dalam 24 jam sampai terjadi penurunan kasus, tanpa diketahui kapan terjadinya penurunan. Belum lagi di jam-jam kerja harus melakukan kampanye sanitasi dan pencegahan diare ke seluruh pelosok desa di wilayah kerja.
Tidak hanya melelahkan tetapi juga menegangkan urat syaraf, karena masih harus sering berdebat dengan penduduk yang menggangap air mentah lebih menyegarkan dan membuang hajat di pesisir pantai lebih melegakan.
Seperti sudah diramalkan, penderita diare dan infeksi saluran nafas berdatangan, pagi, siang, dan malam. Aku hanya berharap tidak ada satu pun yang akan mengorbankan nyawa demi wabah penyakit ini. Apalagi, kebanyakan penderita adalah bayi dan anak-anak.
Tubuh mereka yang kecil, sangat rentan terhadap kekurangan cairan akibat diare yang berlebihan. Sangat rentan pula terhadap kuman penyebab infeksi paru-paru karena ketidakberdayaan mereka mengeluarkan dahak, sehingga menjadi ekosistem yang nyaman tempat berkembangbiak bakteri.
Begitu juga malam ini, ada seorang bayi usia lima tahun yang dibawa ke puskesmas satu jam yang lalu. Rumahnya di gunung, 20 kilometer dari puskesmas, perlu 90 menit untuk sampai ke puskesmas karena gelap dan medan yang sulit.
Kondisinya sudah pada titik nadir, tidak hanya pneumonia tetapi juga diare dengan dehidrasi berat. Aku masih bersyukur pneumonianya tidak sampai pada tahap terberat, meskipun dia sudah sakit sejak seminggu yang lalu dan orangtuanya lebih percaya dukun kampung ketimbang dibawanya ke puskesmas.
Jika saja pneumonianya sudah masuk derajat terberat mungkin aku tidak akan banyak berharap. Karena suction untuk menyedot dahak puskesmas tidak punya, tabung oksigen terbatas, untuk menukarkannya harus ke kota menempuh empat jam perjalanan dengan jalan yang lebih cocok untuk off roader.
Ada juga oksigen yang tidak perlu diisi ulang, tetapi harus menggunakan listrik, sementara listrik hanya menyala 12 jam saja setiap dua hari sekali. Malam ini pun Lontar mendapat giliran lampu mati.
Maka aku dan kak Mizan serta Dimas berjuang menemukan pembuluh darah balita malang itu untuk dipasang infus dibawah temaram lampu jenset puskesmas.
Sulitnya minta ampun, dengan derajat dehidrasi yang sudah berat akan banyak pembuluh darah yang kolaps, karena semua darah berusaha dialirkan ke otak untuk menjaganya tetap berfungsi. Jadi tangan, kaki dan bagian tubuh yang lain akan memucat, ditinggalkan oleh aliran darah.
Padahal kami harus cepat menemukannya, sesegera mungkin mengantikan cairan yang hilang karena diare dengan cairan infus. Untunglah aku memiliki perawat-perawat yang hebat, kerjasama kami akhirnya berhasil menemukan pembuluh darah di pergelangan kaki, setelah hampir setengah jam tusuk sana-sini tidak berhasil.
Kami harus membebatnya dan memberikan penahan agar jarum infus tidak bergeser, karena jika bergeser sedikir saja, lalu infus macet, maka sia-sialah usaha kami.
”Jadi Dok, dokter ini kenapa?” kak Mizan bertanya kepadaku memecah kesunyian dan kepekatan malam. Kami berdua duduk di teras depan rumahku dalam temaram lampu emergency yang semakin meredup, karena daya listrik yang tersimpan sudah semakin sedikit.
Dimas mengobservasi cairan infus balita tadi di ruang rawat puskesmas yang berjarak hanya 10 meter dari rumah dinasku. Derajat dehidrasinya yang berat membuat kami harus menungguinya hingga tiga jam pertama.
Sebagai dokter, aku harus bisa menolongnya melewati tiga jam pertama. Karena tiga jam pertama inilah masa kritis untuk melepaskan balita ini dari ancaman kematian, setelah itu baru aku bisa tidur nyenyak. Kak Mizan menemaniku menghabiskan tiga jam itu, sekarang pukul delapan malam.
”Maksudnya kak? Saya tidak mengerti maksud piyan,” kulihat wajah kak Mizan menerawang jauh.
”Dokter Febri, saya memang hanya perawat, tidak tahu penyakit-penyakit yang aneh. Tapi melihat kondisi dokter selama ini, saya tidak bisa tutup mata. Mimisan dari hidung, memar yang tidak normal dan wajah yang sering pucat membuat saya ini bertanya-tanya, dokter ini kenapa?” Wajah kak Mizan sangat serius, dan kini tatapan tajam matanya mengarah kepadaku.
”Lho kok jadi serius sih kak?” Aku berpura-pura tersenyum di balik kegugupanku, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. ”Bidan Aisyah ke kota sampai kapan ya? Rumahnya kosong terus, membuat saya merasa sendirian” Mataku memandang ke arah rumah bidan Aisyah yang sepi dan gelap.
Aku berusaha mengalihkan perhatian kak Mizan. Tapi kak Mizan terus terdiam menatap dengan pandangan yang selalu membuatku berdebar dan bertanya apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin inilah saatnya aku harus jujur kepadanya, tidak lagi menutup-nutupi keadaanku yang sebenarnya.
”Baiklah kak, aku memang sakit. Sakit yang tak tersembuhkan dan telah menjadi takdir hidupku. Aku menderita leukemia tipe myeloblastik akut. Bundaku meninggal karena penyakit ini sesaat setelah melahirkanku. Beliau mengalami perdarahan otak yang fatal akibat trombositnya yang terlalu rendah, akibat banyak yang dihancurkan oleh sel-sel leukemia.”
Kemauanku untuk berkata jujur telah memberikanku keberanian menatap mata kak Mizan.
Malam itu kuceritakan semuanya kepada kak Mizan sejujur-jujurnya tanpa kukurangi ataupun kutambahi. Bahwa aku didiagnosa menderita penyakit ini saat berumur 18 tahun, tepat saat pengumuman kelulusan SMA.
Bahwa setelah itu aku menghabiskan hidupku selama satu tahun hanya untuk menjalani kemoterapi dan pengobatan. Aku lebih beruntung daripada bundaku yang tidak sempat menjalani kemoterapi, karena baru ketahuan menderita leukemia saat hamil 6 bulan.
Aku terpaksa dilahirkan secara operasi cesar di usia kehamilan 38 minggu, karena kondisi bunda yang terus memburuk, hingga akhirnya beliau meninggal sehari setelah operasi.
Selama hampir satu tahun hidupku hanya sepanjang rumah sakit dan tempat tinggalku. Badanku kurus, rambutku rontok hingga akhirnya ayah memotongnya pendek sekali, hanya berjarak dua sentimeter dari kulit kepalaku.
Setiap obat kemoterapi selesai dimasukkan, yang kurasakan dunia ini berputar, kepalaku menjadi berat sekali dan berakhir dengan muntah-muntah. Belum lagi tiap jangka waktu tertentu, darahku harus diambil, ditusuk berulang-ulang untuk evaluasi hasil kemoterapi, pedih rasanya.
Semua kulakukan dengan ikhlas untuk ayah, karena aku yakin ayah tidak mau kehilangan kedua kalinya untuk penyakit yang sama. Ayah telah banyak mengorbankan hidupnya dan hampir seluruh tabungannya digunakan pengobatanku.
Hanya untuk mencapai kondisi tanpa gejala dalam perjalanan penyakitku atau kita biasa menyebutnya sebagai complete remision yang kemudian diterjemahkan menjadi remisi sempurna.
Asal tahu saja remisi sempurna bukan berarti kesembuhan untukku, tapi hanya memberiku jangka waktu tertentu untuk hidup bebas tanpa gejala leukemia.
Istilahnya meminta bonus tambahan umur, dokter waktu itu meramalkan hanya 2-3 tahun saja, lalu kemoterapi ulang untuk mendapatkan lagi bonus perpanjangan umur, itupun jika berhasil sesukses yang pertama.
Tetapi Tuhan berkehendak lain, Tuhan memberiku bonus hingga tujuh tahun sampai sekarang ini dan entah berapa tahun lagi bonus itu berlaku untukku, Wallahualam.
Kak Mizan menyela untuk bertanya, apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan leukemia. Kubilang ada, melalui transplantasi sumsul tulang. Tetapi itu adalah hal yang sangat tidak mungkin untukku, seperti pungguk merindukan bulan.
Transplantasi sumsum tulang adalah hal yang mustahil bagiku, karena aku anak tunggal, tidak memiliki saudara kandung sehingga sulit mencari donor yang cocok.
Kalaupun ada donor yang cocok dengan senyawa protein pencegah penolakan dalam tubuhku atau biasa disebut HLA yang mirip hampir 90% sekalipun, belum tentu aku dapat melakukannya.
Karena transplantasi bukan perkara murah 100-200 juta, melainkan dapat mencapai 10-20 kali lipat lagi pula belum ada satupun rumah sakit di Indonesia yang dapat melakukannya. Bukan karena dokternya tidak bisa, tetapi peralatan dan perawatan pasca operasi kita belum mendukung.
Kak Mizan adalah pendengar yang baik. Sepanjang aku bercerita, matanya selalu menatap teduh menusuk ke dalam kalbuku. Seandainya kak Mizan adalah kakakku dalam arti yang sebenarnya, aku pasti saat ini sudah menangis sejadi-jadinya di dalam pelukannya.
Menangis dalam kepedihan yang sangat. Menangisi ketidakberdayaanku sebagai manusia, anak manusia yang berpenyakit dan hidup seorang diri tanpa ayah-ibu.
Tetapi aku tentu tidak boleh memeluk kak Mizan, meskipun aku sangat ingin untuk menumpahkan air mataku yang mulai menyesakkan dada. Aku juga tidak boleh menyalahkan Tuhan.
Bagiku Tuhan telah begitu baik memberiku bonus tambahan hingga tujuh tahun, sehingga dapat kugunakan menemani ayah hingga akhir hayatnya. Tuhan juga telah membuat ayah meninggal supaya tidak melihatku menderita lagi.
Aku sudah sangat bersyukur atas semua nikmatnya ini, setidaknya aku tidak menyakiti hati ayah dengan meninggalkan ayah lebih dulu. Ayah adalah segalanya untukku, tak pernah terbersit satu keinginan pun untuk membuat beliau sedih.
Akhirnya aku memutuskan untuk PTT di Lontar ini, di daerah dengan kategori sangat terpencil semata-mata untuk menghabiskan sisa hidupku yang sebatang kara agar bermanfaat bagi orang lain.
Aku ingin mengabdi untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan keberadaan seorang dokter. Agar enam tahun ilmu yang kuperoleh di fakultas kedokteran tidak disia-siakan oleh penyakitku.
Aku sudah tidak ingin meminta bonus tambahan umur lagi, aku tidak akan menjalani kemoterapi lagi meskipun aku tahu saat ini sel-sel muda dalam darahku akan melakukan aksi kudeta lagi, menyerang sel-sel darah sehat sehingga membuatku semakin lemah. Aku sudah sangat ikhlas berapapun takdir umurku digariskan oleh Tuhan, penguasa semesta alam.
Aku mengakhiri ceritaku kepada kak Mizan tanpa airmata, meskipun aku sudah sangat ingin menangis. Aku tidak ingin membuat kak Mizan semakin kasihan kepadaku.
”Menangislah dok, jika piyan ingin menangis, jangan disimpan, karena akan menyakitkan,” rupanya kak Mizan tahu juga apa yang kusembunyikan.
bersambung
penulis: erike suwarsono