Aktor
Senin, 10 Januari 2011
— untuk Amak Baldjun (1942-2011)
SATU adegan dalam Hamlet: Pangeran yang selalu bimbang untuk bertindak itu membawa masuk sebuah teater keliling untuk mentas di Istana Elsinore. Ia merencanakan sesuatu yang cerdik, nakal, dan berbahaya: ia akan memprovokasi raja baru, Claudius. Ia perhitungkan baginda akan bereaksi keras dengan lakon yang disiapkannya—hingga terungkaplah kejahatannya sebagai pembunuh khianat kakaknya sendiri, raja lama, Hamlet tua.
Adegan pementasan dalam tragedi Shakespeare ini menentukan. Yang dipentaskan ”Pembunuhan Gonzago”. Hamlet menamakannya ”jebakan tikus”. Dan benar, Claudius terjebak. Ia terguncang menyaksikan pementasan itu: yang dilakukan para aktor di pentas itu persis seperti kejahatan yang diperbuatnya.
Di sini, ”Pembunuhan Gonzago” berhasil. Hamlet sudah memperkirakannya: ”I have heard that guilty creatures sitting at a play/Have by the very cunning of the scene/Been struck so to the soul.”
Pernah mendengar bahwa orang-orang yang bersalah yang menonton sebuah lakon dapat terpukul hatinya karena sebuah adegan, malam itu, di ruang pertunjukan Istana Elsinore, Hamlet bersiap, gugup, tapi waspada. Sebelum pertunjukan dimulai, Hamlet memutuskan satu peran buat sandiwaranya: ”The play’s the thing/Wherein I’ll catch the conscience of the king.”
Agaknya di mana-mana orang teater menyimpan ambisi yang sama: sebuah lakon akan masuk ”menangkap” hati nurani orang yang berkuasa. Lebih sederhana lagi: para penulis lakon, sutradara, dan aktor menyimpan hasrat (atau mimpi) bahwa teater akan bisa mengubah hidup.
Tapi tak demikian itu akhirnya.
Yang menarik dalam Hamlet ialah bahwa sebuah lakon ternyata mengandung dua peran yang bertentangan. Di satu sisi, ia bagian dari tindakan transformatif. Di Elsinore, ”Pembunuhan Gonzago” disutradari Hamlet, seorang pangeran yang memanggul tugas politik untuk membalas dendam dinastinya. Lakon itu langkah awal. Seperti saya katakan tadi, dalam hal ini lakon itu berhasil. Tapi di lain sisi, sebuah teater justru punya kelebihan bila dibandingkan dengan tindakan politik yang seharusnya.
Hamlet menyadari itu beberapa saat sebelum pertunjukan mulai. Ia melihat bagaimana seorang aktor,
… hanya dalam satu fiksi, satu gelora dalam mimpi,
mampu memaksa sukmanya
masuk ke geraknya yang piawai,
dan wajahnya pun tampak layu,
air matanya membasah, pandang beralih,
suara terputus…
Sebuah tubuh yang berubah—dan semua itu dilakukan bukan untuk apa-apa. ”And all for nothing”. Atau, katakanlah, aktor itu dengan seluruh dirinya jadi orang lain hanya karena seorang Hekuba. Tapi apa arti dirinya bagi Hekuba, dan Hekuba bagi dirinya, hingga ia harus menangis buat perempuan Troya yang sedih dalam karya kuno Yunani itu?
Dibandingkan dengan sang aktor yang tampil di pentas sebagai Hekuba, pangeran yang merancang perubahan kekuasaan itu, Hamlet, justru merasa dirinya seorang yang palsu. ”Oh, what a rogue and peasant slave I am!,” keluhnya. Ia merasa seperti keledai dengan keberanian yang terbatas. Ia hanya memuntahkan kata-kata, seperti pelacur murahan. ”Like a whore…,” katanya—sebuah analogi yang ganjil sebenarnya, sebab dalam kebimbangannya yang terus-menerus, Hamlet tak hendak melayani siapa pun, kecuali pesan hantu mendiang ayahnya yang terbunuh.
Ia mungkin berlebihan, tapi benar: sang aktor di pentas tampak lebih unggul. Kelebihan itu bukan hanya ketika dibandingkan dengan seorang Hamlet yang cuma berani mengutarakan kata. Acting lebih bernilai ketimbang action karena seorang aktor, atau sebuah teater, mendapatkan maknanya ketika hadir tanpa perhitungan. ”And all for nothing”.
Dibanding itu tampak, pekerjaan politik Hamlet punya tujuan spesifik. Laku Hamlet terbatas pada tugas yang dibebankan ke pundaknya oleh almarhum ayahnya. Seluruh tragedi Hamlet terbangun oleh desain dendam. Ia memang mengatakan, dengan sarkasme yang terbuka, bahwa Denmark, di bawah Claudius, adalah ”sebuah penjara”. Tapi bukan saja Hamlet ragu untuk menjebol penjara itu. Emansipasi sama sekali bukanlah agendanya.
Atau sebenarnya tak ada politik dalam diri Hamlet—dan bagi saya, itulah sumber melankolinya yang mendasar. Ia tak kunjung bertindak karena ia tak punya alasan yang mendorongnya jadi seorang militan: pada dirinya tak ada desakan untuk melakukan sesuatu bagi dunia yang lebih luas, untuk kebaikan siapa saja, kini dan kelak. Untuk liyan.
Sementara itu, seni akting adalah sebuah keputusan tiap saat, sebuah laku tiap momen, yang terdorong untuk mencapai sesuatu yang sempurna, sesuatu yang ”benar” dan ”indah”, meskipun tak jelas apa itu tapi jelas untuk siapa saja.
Saya melihat Amak Baldjun di pentas dalam Sumur Tanpa Dasar. Ia memerankan tokoh utama, Jumena Wartawangsa, melalui adegan yang berlangsung—dalam kata-kata penggubahnya, Arifin C. Noer—di rumah, dalam pikiran Jumena atau ”di mana saja”. Ia bergerak dalam ruang dan tanpa ruang, sendirian tapi juga tak sendirian. Kepiawaian Amak adalah ia tak mencoba menggapai sesuatu yang di luar proses tubuh dan kejiwaan itu. Namun ia, aktor yang ulung, terus-menerus bergerak di panggung dari dirinya sendiri dan ke diri orang lain, bolak-balik, terus-menerus. Ia tak dikuasai tokoh yang diperankannya, ia tak menguasai tokoh itu.
Artinya ia tak bisa berlebihan ke satu sisi dan berlebihan ke sisi lain. Tak berlebihan, itulah tujuan ”bermain”, the purpose of playing, sebagaimana nasihat Hamlet ke para aktor yang ia siapkan di Elsinore malam itu.
Sebab dalam ”bermain”, manusia tak bisa utuh dan sendiri. Sang aktor memberi kita tauladan tentang itu.
Goenawan Mohamad