Istri Lot
Senin, 14 Februari 2011
Hari-hari ini kita akan terpaksa kembali kepada Tuhan yang ”ganas”, yang ”cemburu”—Tuhan dalam sajak Amir Hamzah yang terkenal itu. Kita akan teringat kepada-Nya, ketika di banyak tempat orang berseru, menyebut Nama itu, dan merasa sah untuk membantai.
Tuhan dan kekerasan: kedua kata itu akan berjauhan seandainya tak ada orang-orang yang tak berdaya yang dianiaya oleh mereka yang merasa menjalankan titah-Nya.
Februari 2011, serombongan orang atas nama Islam membunuh tiga orang di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Juni 2010, beberapa orang menembaki Jemaat Ahmadiyah yang sedang melakukan salat Jumat di dua masjid Lahore; sekitar 80 orang tewas. Februari 2002, di Gujarat, India, orang muslim dan Hindu saling membantai; kurang-lebih 1.200 orang mati. Februari 1994, seorang Yahudi, Barukh Goldstein, menembakkan senapan mesin ke orang-orang yang bersembahyang di Masjid Ibrahim, Yerusalem. Sekitar 30 muslimin tewas.
Catatan ini bisa ditarik ke masa silam: Agustus 1572, orang-orang Katolik Prancis memulai pembantaian besar-besaran umat Protestan. Puluhan ribu mati. Beberapa belas tahun kemudian, November 1588: penguasa Protestan Inggris menghukum mati 33 orang Katolik karena iman mereka.
Apa yang mencolok dalam kekejaman itu adalah awalnya: orang tak dilihat sebagai wujud yang singular. Tuhan agaknya hanya terasa akbar bila digambarkan sebagai Sang Pelaksana Agung hukuman kolektif. Kita teringat akan kisah Perjanjian Lama tentang Kota Sodom yang dihancurkan-Nya. Sodom dan Gomora binasa, karena bagi-Nya kota-kota itu hanya dosa.
Keadilan bisa disebut di sini, jika keadilan hanya berarti adanya hukuman atas kesalahan. Tapi kita tahu, keadilan juga persoalan yang rumit. Andai Sodom, tempat berkecamuknya perilaku homoseksual yang membuat ”banyak keluh-kesah orang” dan ”sangat berat dosanya”, patut dibinasakan, adilkah untuk tak melihat bahwa dalam kota itu, sebagai kesatuan, ada beda yang tak terduga? Bahkan Abraham, orang yang telah dipilih-Nya, risau menghadapi sikap Tuhan yang murka itu. Dalam doa syafaatnya, laki-laki itu bertanya: ”Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?”
Syahdan, Tuhan mendengarkan doa Abraham. Tapi, bagi-Nya, tetap tak cukup jumlah orang baik yang akan membuat Sodom bisa diselamatkan. Esoknya Abraham mengetahui usahanya gagal. Pagi-pagi ia memandang ke arah Sodom dan Gomora serta ke seluruh tanah Lembah Yordan. Yang dilihatnya: ”asap dari bumi membubung ke atas sebagai asap dari dapur peleburan”.
Kita tak tahu apa yang kemudian terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui dari Alkitab: laki-laki ini tetap setia kepada Tuhan yang tak sepenuhnya dipahaminya. Ia seorang patriah. Ia seorang pemimpin. Ia bukan seorang yang diketahui mencatat kepedihan orang yang tak bersalah dan jadi korban. Terutama perempuan, yang dalam agama sering tak dianggap penting.
Agaknya sikap tak peduli ini menyebar dari generasi ke generasi. Tapi pada tahun 1920-an seorang penyair perempuan, Anna Akhmatova, menulis sesuatu yang lain. Ia menulis sebuah sajak tentang istri Lot.
Ia bertolak dari ujung kisah Sodom yang mengerikan itu. Sebelum kota itu binasa, malaikat berkata kepada Lot, orang yang dikasihi Tuhan, agar ia membawa istri dan kedua anaknya menyingkir. Mereka pun dibawa ke luar kota, seraya diberi pesan, agar jangan menoleh ke belakang. Lot dan kedua anaknya selamat. Tapi, dengan satu kalimat yang seakan-akan hanya terselip, disebutkan: ”… istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.”
Lalu perempuan itu tak pernah disebut lagi—juga tak pernah ditanyakan, apa sebabnya ia tak patuh. Di tengah kebisuan itu, atau terhadap kebisuan itu, Akhmatova menyajikan sebuah cerita lain. Saya terjemahkan sajaknya sebisa mungkin:
Lot yang suci pun melangkah, menyusul malaikat
Di atas bukit. Tampak besar, ia berkilat, hitam pekat.
Tapi hati istrinya berbisik, kian kuat, tak seperti biasa:
'Senja belum gelap. Tengoklah di balik sana.
Pandanglah menara kotamu yang merah mawar,
Taman tempat kau bernyanyi, halaman tempat kau memintal,
Jendela-jendela lapang rumahmu yang nyaman
Di mana anak-anakmu kau lahirkan’.
Maka ia pun memandang ke Sodom kembali. Tapi tatapan itu
Terpaku pedih: tak ada yang tersisa lagi.
Dan di saat itulah kakinya terbenam,
Tubuhnya tiang garam.
Di bait terakhir sajaknya Akhmatova kemudian bertanya: siapa sanak saudara yang akan berkabung karena kekejaman itu? Tersirat dalam Alkitab, perempuan itu cuma kehilangan yang tak berarti. Hanya sang penyair yang tak bisa melupakannya: sajaknya adalah penghormatan kepada seorang yang bersedia mati agar bisa melihat kembali, cukup sekali, apa yang amat berarti baginya.
Dalam sajak dengan kisah yang sama yang ditulis Cyprianus Bitin Berek, apa yang amat berarti itu lebih dijelaskan. Istri itu membandingkan dirinya dengan suaminya. Lot seorang pengelana, sedangkan ia bukan. ”... diriku asli Sodom/Berbekas hingga sumsum”.
Betapa bisa kulupakan tanah ini?
Kanak-kanakku terukir di pohon-pohon
dan kilau remajaku di tembok kota.
Betapa kutinggalkan sanakku mati terbakar?
Artinya, yang berarti bagi perempuan ini bukanlah ketaatan kepada titah yang agung, melainkan apa yang fana, rapuh, tapi tak tergantikan. Ia korban. Ia sebuah nasib yang singular. Ganjil, jika dilihat dari aturan.
Tuhan, yang ditafsirkan hanya berhubungan dengan yang Satu, tak akan menjangkau yang ganjil yang tak tepermanai itu. Tapi Tuhan yang seperti itu bukanlah Tuhan yang lebih dekat ke diri manusia ketimbang urat nadi lehernya. Kepada yang terakhir ini agaknya manusia masih tak berhenti berharap.
Goenawan Mohamad