Berikut ini adalah Catatan pinggir yang di tulis Goenawan Mohamad dengan judul Tiga Fantasi yang dimuat pada Majalah Tempo Edisi 23 Maret 2009
Tiga Fantasi
WAJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Tapi sebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah modern—dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Amerika sebagai dunia Harry Potter.
Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak dapat diandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan sejak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan memberi dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan teater.
Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana benda-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York, sebuah lagi di Prancis…. Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40; merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22.
Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, sebagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga berarti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bursa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang mengawasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mustahil dikibuli.
Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah jadi bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan baru-baru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva, perguruan tinggi Yahudi yang telah 122 tahun berdiri di Amerika.
Dengan jabatan dan kekayaan itu ia yakinkan orang agar menanamkan uang ke usahanya, dengan janji akan ada perolehan yang besar dan ajek tiap tahun.
Semuanya akhirnya hanya kebohongan: Madoff membayar ”perolehan” itu bukan dari hasil investasi, melainkan dari uang yang ditanam investor baru. Pada akhirnya, uang yang dipercayakan kepadanya ia tilep—entah untuk apa saja.
Ada lebih dari 13 ribu rekening di pelbagai negara yang jadi korban. Universitas Yeshiva sendiri kehilangan $ 110 juta. Madoff juga memusnahkan dana The Elie Wiesel Foundation for Humanity, yang didirikan Elie Wiesel, pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan penulis buku Malam, karya terkenal tentang pengalaman hidup dalam kamp konsentrasi Nazi. Sebesar $ 15 juta lebih—atau hampir seluruh aset yang dipunyai yayasan itu—raib.
Bahkan para tetangganya di Palm Beach, kebanyakan orang tua Yahudi yang berpunya, kena tipu. Termasuk Carl Shapiro, seorang jutawan umur 95 yang telah menganggap Madoff sebagai anak; $ 400 juta uang pribadinya hilang.
Kenapa itu bisa terjadi? Keserakahan dan kelicikan Madoff tentu jadi pangkalnya. Juga kemampuannya meyakinkan orang. Tapi tak dapat diabaikan: suasana optimisme yang melonjak-lonjak, ketika keadaan investasi cerah, dan orang mau percaya apa pun agar uang jadi pohon buah yang subur. Euforia itu ruang bagi fantasi. Dan kapitalisme Amerika pun berkembang jadi kisah ala Harry Potter tanpa (atau dengan) Lord Voldemort.
Di situlah Madoff, sang ilusionis alias juru sulap, membangun tiga lapis fantasi dengan sempurna.
Yang pertama fantasi bahwa dana itu hidup dan bergerak sendiri, seakan-akan sejumlah makhluk rahasia dari Hogwart yang bekerja untuk membawa kekayaan.
Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ketimbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek Mark Twain, The One Million Banknote.
Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di London dalam keadaan compang-camping dan lapar. Tapi tiba-tiba ia jadi alat taruhan dua jutawan kakak-beradik.
Sang kakak mengatakan, bila seorang jembel dipegangi selembar mata uang bernilai sejuta pound sterling selama 30 hari, orang itu akan mati kelaparan. Untuk beli makanan, ia harus menukarkan mata uang segede itu agar jadi recehan. Tapi orang tak akan percaya dan ia pasti akan ditangkap.
Sang adik sebaliknya menebak: si jembel akan berhasil.
Maka Adams pun jadi kelinci percobaan. Taruhan dijalankan—dan ternyata si adik yang benar. Si Yankee jembel bisa meyakinkan orang, cukup dengan menunjukkan kertas bertanda 1.000.000 pound itu, bak paspor seorang jutawan. Toko dan restoran akan melayaninya bagai raja.
Artinya, kertas berangka itu telah jadi jimat. Orang hidup dengan ”fetisisme” itu. Dalam hubungannya dengan komoditas lain, uang kertas itu bukan lagi terpacak di bumi, melainkan, untuk memakai kata-kata Marx, ”berdiri di atas kepalanya”, tumbuh keluar dari sifatnya sebagai kertas. Ia jadi sesuatu yang ”jauh lebih hebat ketimbang seandainya ia harus menari menurut iramanya sendiri.”
Dengan itu lahirlah lapisan fantasi kedua: Madoff bukan hanya menampakkan selembar kertas sejuta dolar, tapi lebih. Dan para pemilik jutaan dolar pun menerimanya sebagai kawan sekaum. Bila si Henry yang rombeng itu bisa meyakinkan dunia, apalagi Madoff yang tinggal di Palm Beach.
Tapi fantasi itu tak berhenti di sini. Ada fantasi lapis ketiga. Shapiro mengira hubungannya dengan Madoff adalah hubungan antarmanusia. Ternyata bukan. Madoff memompa fantasi itu, meskipun baginya hubungan antarmanusia cuma sebuah medium pertukaran uang. Sebab dengan fantasi Shapiro-lah transaksi kapitalisme mungkin.
Memang akhirnya hati Shapiro tertusuk. Kini kita, yang terjebak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga fantasi yang dipupuk Madoff.
Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapitalisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin kecil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya.
Meskipun tak mudah.
Demikian tadi Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad dengan judul Tiga Fantasi Catatan tersebut dimuat di Majalah Tempo Edisi 23 Maret 2009