PLAYBOY: Apa bedanya penggarapan Panji Sepuh sekarang dengan yang 12 tahun lalu?
GOENAWAN: Kalau dulu di atas tanah rata. Sekarang ada panggung, saya ingin memberi tekanan pada masalah kekuasaan. Meski geraknya tetap meditatif tapi faktor fisik tampak seperti panggung, layar. Penarinya dulu empat sekarang tujuh.
Dalam Panji Sepuh sebenarnya tidak ada naskah, hanya tari. Saya diminta menulis tembang jawa dua stanzah lagu panggung. Lalu beberapa kata Jawa untuk koor, musik yang dibikin Tony Prabowo bagus sekali. Seperti koor Gregorian dalam bahasa Jawa. Musiknya tidak memakai gamelan, tapi gender yang digosok. Tidak ada alat pukul sama sekali.
Dulu sempat dipentaskan di Jakarta beberapa kali, di Melbourne, Bali, Solo, Seoul. Ide koreografinya dari Sulistyo Tirtosudarmo. Yang lain-lain menambahkan, mengolah. Saya waktu itu lihat prosesnya usul ini usul itu, Belajar saya.
PLAYBOY: Dari dulu Anda banyak menyumbangkan puisi dan prosa untuk seni pertunjukan. Kalau kali ini, Anda terlibat langsung dalam produksinya?
GOENAWAN: Saya terlibat penuh dalam Panji Sepuh dan Pastoral. Jadi akan ada dua dua nomor, Pastoral dan King’s Witch. Pastoral itu sajak saya dan saya jadi sutradara juga. Kalau King’s Witch saya hanya konsultan. Lebih banyak membantu persiapan di luar panggung, organisasi produksi. Kebetulan saya berpengalaman di Tempo ada gunanya. Jurnalistik, seperti juga teater, adalah kerjasama berbagai elemen. Ada desain, ada penulisan, logistik, ada budget, ada time table, teater juga begitu. Ada peran juga. Cuma kalau di teater apalagi setelah saya alami, tidak terus-menerus.
Lalu saya lihat (penggarapan) Kali, opera di Amerika. Saya yang membuat libretto-nya. Sebenarnya yang dibikin lebih dulu King’s Witch tapi yg dipentaskan duluan Kali. King’s Witch hanya dalam bentuk workshop. Di situ saya belajar bagaimana sutradara bekerja, bagaimana organisasi teater. Saya mulai banyak ide masuk. Kebetulan saya lihat La Galigo di New York. Menurut saya La Galigo itu gagal.
PLAYBOY: Kenapa gagal?
GOENAWAN: Menjadi datar, legendanya kurang mencekam. Hampir seperti gambar komik anak-anak. Flat.
PLAYBOY: Yang datar pada olah cerita atau pementasannya?
GOENAWAN: Cara mementaskannya. Kalau saya yang diserahi itu saya akan bikin lain. Semua seniman Indonesia yang menonton kecewa. Waktu saya nonton dengan Tony di New York saya bilang: “kita bikin saja Ton, Panji Sepuh. Siapa tahu ada yang mau mendanai.” Untuk menunjukkan kalau dari Indonesia ada yang lebih bagus dari La Galigo. Sebab musik Tony ini kan musik yang bukan barat, bukan timur, Panji Sepuh bisa menjembatani. Bisa kelihatan timur, menarik. Tapi juga ada orisinalitas Tony. Pada tarinya juga ada orisinalitas penari.
Jadi saya minta pada Sulistyo biar saya yang menyutradarai. Teman-teman percaya.
PLAYBOY: Tapi Anda tidak punya latar belakang koreografi atau tari?
GOENAWAN: Memang saya bukan penari. Saya hanya mengatur komposisi, mana yang berlebihan mana yang kurang. Teguh Ostenrik banyak membantu saya dalam memilih gerak, memperbaiki gerak. Karena dia pelukis, menguasai anatomi. Dia kasih ide-ide baru. Penari banyak memberi ide koreografi. Tugas saya hanya mengkoordinasi semua hal. Tapi saya senang, karena saya suka kerja dalam tim. Kalau olahraga saya senang sendiri.
PLAYBOY: Apa jalan cerita Panji Sepuh?
GOENAWAN: Sebetulnya tidak ada cerita. Dia imaji yang berangkai. Suasana keraton Jawa yang sedang dalam keadaan murung, pada suatu masa akhir kekuasaan. Bagaimana dalam suasana itu orang menghargai kematian, menghargai tubuh, dan dibebaskan oleh tubuh. Dalam wayang ada yang disebut suluk, puisi yang dinyayikan, yang tidak bercerita apa-apa tapi menggambarkan suatu suasana. Suasana murung, suasana perang. Panji Sepuh adalah suluk yang panjang. Dia puisi meditatif panjang yang ditarikan, mengenai kekuasaan dan tubuh manusia terutama yang diekspresikan oleh perempuan. Perempuan lah yang sebetulnya lebih lengkap dalam mewujudkan ekspresi tubuh, dia yang hamil, menstruasi, menyusui, Sedang laki-laki tidak.
Panji Sepuh yang baru saya beri tekanan pada peran perempuan. Sentrumnya tidak lagi raja, seperti yang dulu. Sekarang sentrumnya beberapa, laki-laki atau dalam hal ini raja hanya salah satunya. Panji Sepuh yang saya tafsirkan peran wanita menonjol. Tujuh penari itu menjadi pemenang dalam suatu pergulatan. Akhirnya ada semacam pembebasan, penolakan, pemberontakan, kepahitan, dan salah satu juga ekspresinya adalah yang erotik. Ada adegan senggama, homoerotik antarperempuan secara halus. Untuk menegaskan yang erotik itu menegaskan tubuh. Tubuh tidak bisa diabaikan. Manusia adalah tubuh, roh dalam tubuh. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kemudian moralitas yang kita kenal membenci tubuh dan akibatnya membenci perempuan.
PLAYBOY: Relasi antara kekuasaan dan tubuh dimana yang satu berdiri sebagai penindas?
GOENAWAN: Persis. Kekuasaan itu tidak harus kekuasaan politik, bisa kekuasaan wacana, agama, hukum. Banyak yang disumbangkan oleh pemikiran feminisme. Memang pemikiran feminisme di Indonesia ini hanya menerjemahkan dari barat, kecuali yang dijalankan oleh sebagian perempuan di kalangan pesantren. Tapi gerakan itu banyak menyadarkan kita untuk lebih appreciate pada masalah perempuan, tubuh dan manusia.
PLAYBOY: Apakah dunia gelap itu merefleksikan kekuasaan atau sebaliknya?
GOENAWAN: Iya bisa, dari dunia gelap yang tidak bisa ditaklukkan itu, kita bisa melihat kekuasaan dengan segala ambisinya tidak bisa menang sepenuhnya.
Di King’s Witch kamu akan lihat ada perlawanan dari Manjali dan Calon Arang terhadap penghukuman dari kekuasaan yang besar di luar bawah sadar manusia.
Ada satu bentuk statement yang mengukuhkan bahwa yang magis, yang gelap yang tidak diduga-duga, miskin, kecil di luar kerajaan itu tidak bisa dibasmi. Dan dia punya perannya sendiri.
Calon arang sering digambarkan sebagai wakil dari kegelapan. Dalam teksnya ada kata-kata raja yang menyukai lansekap yang rapi yang dikerjakan oleh tangan-tangan yang rajin. Itu kan industrialisasi. Tapi dunia tidak semuanya bisa dibegitukan. Termasuk dunia yang tidak jelas, yang gelap, yang tidak bisa dirasionalkan.
Perempuan seperti dalam Panji Sepuh, Manjali dan Calon Arang bukan hanya mengukuhkan perlawanan yang disebut-sebut oleh kaum feminis patriarki tapi mengukuhkan bahwa kekuasaan yang mau menindas dan membuat dunia dapat ditaklukkan dengan rasionalitas dan produktivitas itu selalu terbentur pada kenyataan bahwa yang gelap dan misterius, serta tubuh tidak bisa ditaklukkan.
PLAYBOY: Terdengar cukup trendi, dengan arus pemikiran feminisme?
GOENAWAN: Memang kelihatannya trendi. Tapi ternyata cocok dengan yang kita alami. Misalnya King’s Witch, kalau dalam cerita Calon Arang lazimnya, seperti yang diceritakan ulang oleh Pramoedya, dia itu nenek sihir atau dukun santet yang memberi celaka rakyat karena anak perempuannya tidak laku. Sangat memandang perempuan pada posisi yang buruk. Tidak pernah dipikirkan bagaimana Calon Arang melihat persoalan. Saya membaliknya.
PLAYBOY: Toety Heraty lewat bukunya juga menafsirkan lain, Calon Arang sebagai korban patriarki?
GOENAWAN: Tapi Toety lebih banyak melakukannya dengan esai daripada puisi. Menurut saya dengan esai kurang ada nuansa. Jadi doktrin yang dirumuskan saja, tidak dialami. Dalam King’s Witch memungkinkan kehadiran Calon Arang sebagai pribadi yang bersuara itu dialami. Karena itu bentuknya puisi bukan esai.
PLAYBOY: Apa peluang puisi dibandingkan esai?
GOENAWAN: Peluang pusi adalah dia memberi kesempatan pada hal-hal yang tidak diduga-duga, yang bertentangan sama sekali di dalam satu tubuh. Esai ada semacam garis lurus, puisi kan tidak. Dua-duanya perlu. Bahasa puitik adalah bahasa pembebasan. Esai kan sangat ketat, ada disipilin. Tidak semua pikiran bisa tertangkap. Puisi bisa menangkap yang diam, yang tersembunyi. Yang gelap.
PLAYBOY: Saya membandingkan tari lebih mirip puisi daripada esai karena lebih kaya interpretasi?
GOENAWAN: Betul. Seperti kamu lihat di King’s Witch ada orang loncat, banyak yang tidak jelas. Memang tidak perlu jelas. Sebagaimana puisi yang meditatif tidak bisa direduksi dalam satu tema, bermacam-macam tema bisa terjadi di situ.
PLAYBOY: Karena itu Anda suka pada pementasan seperti ini daripada teater lakon?
GOENAWAN: Ya. Ya. Ya. Bukan saya menolak itu. Saya sendiri sedang menulis satu naskah lakon namanya Visa. Itu adegan orang mencari visa di kedutaan besar Amerika. Agak lucu. Tapi ada banyak alusi terhadap masalah ketakutan pada yang asing, masalah identitas dan tanah air. Nadanya lucu. Masih belum selesai.
PLAYBOY: Bagaimana kondisi teater sekarang dibandingkan dulu?
GOENAWAN: Teater sudah mulai bangkit karena dasarnya tidak seperti tahun 70an ketika Rendra Putu dan Arifin dalam keadaan mekar, semangat dan bebas. Ketika TIM baru dibuka adalah zaman keemasan teater Indonesia. Ada dana dari Ali Sadikin. Ali sadikin itu orang yang luar biasa jasanya pada dunia performing art Indonesia. Selain jasanya di bidang lain.
Belum pernah dialami sehebat itu. Diberi dana, kebebasan dan tempat. Zaman itu bukan main performing art Indonesia. Dan mutunya juga bagus, mendatangkan karya-karya dari luar. Tapi begitu Tjokropranolo (pengganti Ali Sadikin.red), mati.
Pasca Ali Sadikin TIM kacau balau. Pada saat yang sama timbul industri sinteron, yang menyedot bakat-bakat yang ada. Karena tidak ada theatre company, Teater Mandiri itu cair. Karena nggak ada lalu orang-orang main sinetron, padahal bakatnya dashyat. Arifin meninggal, Rendra terlibat dalam banyak hal dan ditindas penguasa dan sebagainya.
Dulu Habibie pernah ingin membangun Kemayoran jadi pusat kesenian yang besar. Padahal sudah ada TIM. Menurut saya yang perlu, dana itu disimpan di bank dan bunganya untuk membiayai grup teater latihan. Mereka banting tulang begini apa yang mereka dapat, berapa rupiah yang mereka dapat. Pelukis sekarang bisa kaya. Kalau penari masih bisa cari obyekan dari pertunjukan. Tapi pada dasarnya yang diperlukan satu grup yang saling mendukung dalam hal intelektual dan artistik. Saya tidak begitu setuju dana untuk kesenian dihabiskan untuk mendirikan gedung saja.
PLAYBOY: Kalau di luar negeri?
GOENAWAN: Di barat sama saja. Dia New York teater yang serius begini hidupnya berat. Di sana kadang-kadang dapat grant. Tapi antrinya habis-habisan. Aktor-aktor jadi penunggu restoran, di Seattle saya lihat komponis teater jadi pelayan Starbucks. Di Jepang juga begitu. Saya lihat ada aktor kaya, kok bisa hidup. Ternyata dari orang tuanya. Jadi kalau sudah memilih hidup sebagai seniman, ditakdirkan harus hidup miskin. Ini kan suatu counter culture, perlawanan terhadap dunia mainstream yang menjanjikan, uang, kepastian.
PLAYBOY: Kalau kondisi kelompok teater belakangan ini?
GOENAWAN: Sekarang mulai bangkit lagi, seperti Teater Garasi, di Jakarta seperti Teater Kubur. Kalau ada komunitas latihan bisa konsisten. Teater itu tidak hanya pementasan. Teater juga ketika waktu tidak berpentas, bertukar ide pikiran, merumuskan cerita, mencari eksplorasi gerak. Teater terbentuk dari itu. Kalau dilihat kan mengerikan dunia teater ini, latihan berbulan-bulan untuk dua hari. Itu pun kalau ada duitnya. King’s Witch ini berapa bulan persiapan. Inilah nasib dunia pertunjukan. Itu juga yang membuat saya dekat dengan teman-teman di teater, karena mereka melakukan itu semua untuk cinta pada suatu yang tidak berguna. Dan masyarakat perlu hal-hal yang tidak berguna, teater, puisi. Kalau semua berguna celaka. Cinta tidak berguna. Bersiul nggak berguna, Bergurau tidak berguna. Anjing menggonggong tidak berguna. Banyak hal yang tidak berguna tapi dari sana hidup terbangun.
PLAYBOY: Sejak 1970an Anda sudah banyak melakukan kritik teater. Apa yang Anda lakukan ini juga bentuk kritik terhadap kebiasaan teater yang ada?
GOENAWAN: Tidak. Tapi saya pikir saya ingin menggalakkan dinamika, inovasi, yang baru dan berani dalam teater, dalam hal ini Garasi juga berkepentingan. Teater ternyata bisa lain. Beberapa bentuk teater seperti yang dibawakan Ratna Sarumpaet itu pidato, orasi. Tidak menarik. Bukan teater itu. Karena teater itu seni yang demokratis.
PLAYBOY: Demokratis?
GOENAWAN: Ya karena dalam teater tidak ada yang memonopoli kebenaran. Teater terbangun dari dialog. Teater bisa dicapai bukan dengan pidato, tapi dengan membuat teater sebagai sebuah peristiwa. Dari dulu saya menyebut teater itu peristiwa, bukan cerita, pesan dan akting saja. Totalitas dari apa yang terjadi di panggung dan di luar panggung sekeligus yang resonansinya kemana mana, dan punya dinamika sendiri. Selalu ada sesuatu yang tidak direncanakan sutradara.
PLAYBOY: Selama ini teater tidak menjadi bentuk kesenian yang bisa diapresisasi secara populis?
GOENAWAN: Bisa. Teater ketoprak bisa, ludruk dan lenong juga. Tapi ya itu karena teater dijalankan sebagai sebuah peristiwa. Selalu ada improvisasi.
PLAYBOY: Agak sulit mengkategorikan King’s Witch dalam bentuk seni pertunjukan, teater atau opera?
GOENAWAN: Dalam opera biasanya satu aktor satu karakter dia yg menyanyi mengucapkan dialog. Di sini satu aktor menjadi suatu peran dan suatu pencerita. Misalnya ada cerita mengenai ada raja berjalan, dia berjalan. Bercerita tentang raja, dia ikut jadi raja. Kedua, ini gerak tari ini dikombinasi dengan vokal, sementara yang vokal tidak bergerak, yg bergerak tidak bernyanyi. Tapi juga bukan penyanyi latar, karena membentuk dunia sendiri.
Yang lain dari King’s Witch ini pertama, dalam bahasa Inggris. Memang ditujukan bagi audiens Amerika waktu itu. Berhubung pesanan yang diterima Tony dari seorang konduktor Julliard School of Music, saya tulis untuk itu.
Seperti ini belum pernah saya lihat. Apakah ini masih disebut opera atau kita memang tidak perlu memakai nama.
PLAYBOY: Apa maksud mempertemukan legenda klasik dengan musik kontemporer dan modernitas seperti sistem mekanik dalam tata panggung?
GOENAWAN: Untuk membuat kontras. Kesenian itu paling bagus kalau unsur tidak terduga-duga menjadi penting. Di sini kan tidak terduga-duga, kok cerita Calon Arang ada perabot macam ini. Seperti pabrik ini.
PLAYBOY: Bagaimana metode penulisan libretto-nya, musik duluan atau sebaliknya?
Sebetulnya saya menulis puisi saja, kemudian Tony bikin musiknya. Nggak ada nyanyi dulu baru bikin liriknya.
PLAYBOY: Jadi musikalisasi puisi?
GOENAWAN: Iya. Musikalisasi puisi dalam artian yang sangat longgar. Kadang-kadang dinyanyikan kadang kadang ngomong.
PLAYBOY: Tentu saja Anda terlambat memasuki dunia teater?
GOENAWAN: Terlambat tapi senang. Saya hidup sebagai wartawan bertahun-tahun, senang tapi hati saya selalu pada kesenian. Cinta pertama saya kesenian. Jurnalisme juga karena penulisan. Kalau bukan karena penulisan nggak mau. Dan kedua, bisa mendatangkan uang banyak (tertawa). Kalau sekarang anak saya sudah besar, istri saya bekerja. Dia bilang biar sajalah dia jadi seniman. Jadi ditolerir. Menjadi gila yang ditolerir (tertawa).
PLAYBOY: Dalam King’s Witch kenapa tidak pakai musisi lokal?
GOENAWAN: Mereka yang ingin, ini karena usul mereka juga. Ini kan sudah dipentaskan di New York tahun 2000. Mereka merasa berutang pada Indonesia, sumber dari karya ini. Karena ini karya orang Indonesia. Mereka bilang kenapa tidak kita bawakan sebagai rasa terima kasih.
Sebenarnya rektor Julliard Schoof of Music tidak mengizinkan mereka pergi karena travel warning. Kalau atas nama Julliard mereka bertangung jawab. Mereka nekat membentuk orkes baru, Continuum Ansamble, khusus untuk ini. Tapi semuanya orang Julliard.
PLAYBOY: Anda yakin formula King’s Witch itu bisa diterima audiens?
GOENAWAN: Nggak tahu saya (tertawa). Itu tafsir Tony dan Yudi (Ahmad Tajudin, sutradara panggung.red). Saya kan cuma libretto-nya.
PLAYBOY: Teks libretto itu kan memainkan peran penting?
GOENAWAN: Iya. Saya kira tafsiran saya ingin memberi tempat pada Calon Arang dan Manjali yang selama ini tidak diberi tempat. Mungkin sudah waktunya orang diberi tahu. Kalaupun tidak menerima paling tidak orang tahu dalam setiap cerita itu ada yang hal yang dihilangkan, dan itu harus dibangkitkan lagi.
PLAYBOY: Seperti dulu Anda menafsirkan Malin Kundang?
Iya, saya menafsirkan kenapa Malin Kundang harus terikat. Jangan-jangan masalahnya bukan dia mengkhianati ibunya. Dia ingin melepaskan diri dari suatu masa lalu. Kenapa tidak boleh. Sejarah terbentuk dari pelepasan diri dari masa lalu. Kalau tidak, tidak ada revolusi.
PLAYBOY: Kenapa dalam legenda kita selalu ada yang jahat, dan harus ada yang dikorbankan?
GOENAWAN: Dimana-mana begitu. Di seluruh dunia legenda begitu. Tapi ketika didongengkan pada anak-anak menjadi cerita moral. Ajaran moral. Padahal harusnya lebih kaya dari itu.
PLAYBOY: Ajaran moral itu pasti mengabdi pada suatu kepentingan, dalam hal ini orang tua?
GOENAWAN: Betul. Betul begitu. Moralnya menjadi versi orang tua. Cerita Bawang Merah Bawang Putih, yang bagus bawang merahnya, karena baik sama orang tua. Jelas, karena maunya orang tua anak-anak patuh. Dalam setiap dongeng itu ada politik, dan kita harus membongkar itu. Selalu ada yang dilupakan. Seperti dalam Mahabarata. Saya menulis Kali di Seattle itu, dan nanti juga akan saya pakai dalam Bisma Bisma, kenapa orang tidak mendengarkan Kurawa? Kenapa kesedihan-kesedihan Kurawa tidak didengar. Mereka sudah kalah, dianggap jahat, dipikir tidak pantas didengar. Dalam Bisma Bisma nanti adegan pertama adalah Destarastra dan istrinya (Gandari.red). Dia kan buta, dan istrinya menutup matanya seumur hidup. Muncul bagaimana kengerian mereka, ketika saudara-saudaranya mati dan anak-anaknya hilang. Lihat dong orang-orang ini dikutuk beramai-ramai. Sama seperti waktu PKI dikutuk beramai-ramai.
PLAYBOY: Bagaimana rencana mementaskan Bisma Bisma dan Tan Malaka?
GOENAWAN: Bisma Bisma tahun depan, dari cerita Mahabarata, bentuknya tari setengah tradisi. Kalau umur saya panjang dan sehat, dan ada duit (tertawa). Dan ada teman-teman yang membantu. Tan Malaka cukup berat. Naskahnya belum selesai tapi desain sudah ada. Akan dibuat dalam koratorium acapella, komposisinya dari Tony.
PLAYBOY: Apa yang ingin diangkat dalam Tan Malaka?
GOENAWAN: Mungkin tentang usaha pembebasan dalam sejarah manusia. Indonesia ini begitu banyak yang dahsat, luhur, tapi banyak sekali yang tidak terpenuhi. Dalam sejarah kan selalu begitu. Dimulai dengan niat yang besar, berakhir dengan kekecewaan. Tapi bukan berarti niat yang besar itu salah. Jadi bukan riwayat hidup Tan Malaka. Saya tidak bisa bikin yang seperti itu. Mungkin beberapa passage tentang Malaka, surat-suratnya, komentar-komentarnya ada. Ini dalam bentuk koratorium. Tony yang bikin musiknya.
PLAYBOY: Anda punya rencana untuk membangun Teater Utan Kayu (TUK) yang baru di Pejaten. Sudah dimulai?
GOENAWAN: Baru minta izin, desainnya sudah selesai, dari Marco (Kusumawijaya) Cs. Mereka itu semua nggak dibayar, karena kita nggak punya duit. Mudah-mudahan bisa tahun 2008 dibuka, kalau disetujui teman-teman.
PLAYBOY: Karena Anda yang minta maka mereka tidak berani minta bayaran?
GOENAWAN: Nggak, mereka tahu saya nggak punya duit, dan ini kan bukan untuk perdagangan.
PLAYBOY: TUK lama tidak akan ditutup?
GOENAWAN: Saya akan berusaha tidak akan menutup. Yang penting ada duit untuk membikin program dan tenaganya. Kalau ada yang baru, Kita perlu kurator lain, atau yang lama dipindahkan dan TUK lama perlu kurator baru.
PLAYBOY: Karena nilai sejarahnya?
GOENAWAN: Ya TUK yang selama ini kan bersejarah. Harga sejarahnya begitu besar. Itu salah satu simpul gerakan pusat perlawanan terhadap Soeharto. Pada awalnya tempat pertemuan untuk gerakan pro demokrasi. Sebelumnya itu tempat penerbitan buku Tempo. Tempo dibredel nggak berfungsi karena dananya nggak ada. Lalu dipakai untuk ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Lalu karena tempat itu banyak dicurigai, kita bikin teater, galeri, untuk sembunyi sebenarnya. Semacam kamuflase. Kemudian menjadi main kuat dengan sendirinya. Kamuflasenya kemudian ekfektif karena orang tahu saya juga seniman. Kalau saya aktif di politik saja, lalu tiba-tiba berkesenian kan mencurigakan.
PLAYBOY: Dana untuk membangun TUK yang baru dari uang sangat banyak yang Anda dapat dari Dan David Prize di Israel?
GOENAWAN: Yang perlu dana tidak hanya TUK. Tadinya kami berdebat. Apakah uang yang ada didepositokan lalu bunganya untuk membiayai program rutin TUK yang sekarang. Yang sekarang cukup berdarah-darah, minta dari kiri-kanan.
PLAYBOY: Apa proyeksi untuk TUK yang baru?
GOENAWAN: Sekarang ini di Jakarta dengan segala bangunan teater, tidak ada teater black box, teater rata, yang sederhana. (Posisi panggung) fleksibel, bisa penonton berkeliling atau penonton tapal kuda. Itu banyak di Amerika. Kapasitasnya cuma 200 orang. Teater yang besar itu akan menimbulkan program maintenance, dan harus mendatangkan yang laku banget. Dan yang laku banget belum tentu yang bagus. Kebetulan ada rezeki dan ada tanah, ya sudah. Teman-teman bilang kita bangun saja yang baru, juga karena ini akan mendekati pusat-pusat universitas, Universitas Indonesia, Universitas Nasional, Universitas Pancasila. Dan menurut saya dunia universitas dan generasi muda akan lebih dinamis, dan berpikir bebas dari dogma dari fanatisme kalau bergulat dengan kesenian. Ide-ide yang slealu baru dan mempersoalkan doktrin-doktrin. Mudah-mudahan anak muda itu tidak hanya terlibat dalam kegiatan yang berkutat dalam dogma, doktrin dan ajaran sekolah. Dengan kesenian kita bisa menghargai ambiguitas, kontradiksi. Ketidakpastian, ketidakekalan.
PLAYBOY: Realitasnya, sistem pendidikan mengarahkan murid untuk berkacamata kuda, melupakan dunia luar?
GOENAWAN: Betul itu nggak bisa dihentikan. Tapi harus diimbangi. Saya bukan Ivan Illich yang meminta sekolah dibubarkan. Tidak mungkin. Dunia memerlukan sekolah. Tapi dunia tidak hanya memerlukan sekolah. Benar kalau dikatakan pendidikan kita terdiri dari tiga bagian, satu di sekolah, dua di rumah, dan ketiga di jalan, di antara rumah dan sekolah. Jadi 30 persen pelajaran ada di jalan. Teman saya, seorang profesor sosiologi di Singapura bercerita kalau dia mengajar, anak yang pintar banyak bertanya, kritis, mendebat. Sementara yang tidak pintar, diam saja, mencatat. Waktu ujian, yang bagus itu yang diam dan mencatat. Jadi, jangan-jangan sekolah itu bukan untuk anak-anak pintar (tertawa).
PLAYBOY: Karena itu dulu Anda meninggalkan kuliah?
GOENAWAN: Saya pilih Psikologi UI karena saya ingin belajar filsafat. Di Fakultas Sastra saya juga diterima, Sastra Perancis. Tapi tidak ada filsafat di sana. Kedua saya ingin belajar psikologi dan ketiga sosiologi. Itu semua ada di psikologi. Ketika psikotes, saya lulus. Sedikit sekali dulu yang masuk psikologi. Barangkali 17 orang.
Seleksinya pakai psikotes, fakultas lain tidak ada. Karena itu Prof Slamet Iman Santoso, dekannya, menganggap semua yang masuk psikolog jenius (tertawa). Jadi dipaksa belajar macam-macam. Bayangkan, tahun pertama belajar anatomi perbandingan, mengoperasi kodok. Itu di Kedokteran pelajaran tingkat dua. Statistik. Di ekonomi ada di tingkat dua. Filsafat, ilmu sel, ilmu jaringan. Waktu itu (Psikologi UI) baru pisah dari kedokteran, begitu banyak pelajarannya. Lalu dosennya mengajar banyak yang tidak menarik.
PLAYBOY: Terlalu eksak?
GOENAWAN: Bukan. Mendikte. Saya belajar ilmu jaringan, di laboratorium kedokteran, itu dosennya membaca terus, kita disuruh mencatat. Waktu di SMP saya dilarang begitu oleh guru saya: jangan menghafal. Harus paham. Saya disuruh menghafal, ketika membaca nggak paham saya. Kebetulan kakak saya, Kartono kan di kedokteran, bukunya banyak dari Amerika. Saya baca itu, saya paham. Buku Amerika kan mudah. Waktu ujian saya jawab sesuai buku itu, eh salah karena tidak sesuai dengan teks yang dibaca dosen. Kecewa saya. Lalu yang mengajar sosiologi seorang Belanda yang bukan sosiolog. Karena tidak ada tenaga waktu itu. Masa’ kita diberi buku, terus disuruh baca keras-keras giliran, kayak di SD. Ngibulin banget.
Ada dosen lagi mengajar ilmu gestalt, psikologi. Nggak paham saya. Padahal dia lulusan jerman. Kalau baca sendiri lebih paham. Ada asisten dosen, Anugerah Pekerti, dia menjelaskan terang sekali. Jadi gurunya menurut saya yang tidak benar.
Kemudian saya menulis juga. Banyak godaan. Mulai diterbitkan di majalah sastra. Jadi mulai besar kepala.
PLAYBOY: Fuad Hasan kan ada di sana?
GOENAWAN: Kalau Fuad Hasan mengajar baru bagus, luar biasa terang. Tapi kebanyakan dosen lain tidak. Jadinya, psikolog menjadi tukang tes. Maaf saja. Saya tidak tertarik. Saya tertarik untuk mendapat ilmunya, karena saya ingin jadi penulis. Kata HB Jassin dalam bukunya “Tifa Penyair dan Daerahnya,” kalau mau jadi penulis, harus tahu psikologi, sosiologi, harus tahu Freud, eksistensialisme. Kalau disuruh belajar yang lain-lain saya tidak tertarik.
PLAYBOY: Dari Batang ke Jakarta, memang untuk jadi penulis?
GOENAWAN: Ya. Sekolah paling baik waktu itu ya di UI karena ada psikologi dan saya mau mempelajari ilmunya. Tapi saya tidak ingin menjadi psikolog. Seperti juga, mungkin Putu Wijaya tidak tertarik untuk menjadi sarjana hukum. Dia lulus Fakultas Hukum, tapi kalau ditanya sekarang, nggak tahu apa-apa dia.
PLAYBOY: Kenapa tidak pernah menulis novel?
GOENAWAN: Saya juga penasaran. Saya kira karena saya belum bisa. Saya bikin cerita pendek saja belum bisa. Sesekali ada, untuk main-main.
PLAYBOY: Kenapa tidak bisa?
GOENAWAN: Tidak tahu. Mungkin cerita pendek bisa saja tapi novel itu butuh energi yang luar biasa.
PLAYBOY: Tapi menulis esai juga perlu energi?
GOENAWAN: Aaa ya tapi itu lebih banyak energi intelektual. Kalau novel itu energi fisik, intelektual, perasaan, dan terutama imajinasi. Saya belum berhasil menemukan tekniknya yang agak lain daripada yang lain. Bukan saya nggak mau tapi karena saya belum bisa pada umur begini. Siapa tahu pada umur 70 nanti saya bisa (tertawa). Saya harap bisa.
PLAYBOY: Pencapaian terbesar dalam dunia novel kita?
GOENAWAN: Yang terakhir ini menurut saya Ayu Utami. Pertama, karena Ayu membawakan bahasa yang sangat hidup dan konkret, tidak hanya statement-statement, tidak hanya perumusan filsafat. Tapi bahasa sehari-hari, dan juga pada saat yang sama juga bisa puitis. Kedua, eksplorasi bahasanya luar biasa. Seperti dalam Saman kita lihat nama-nama ular, nama-nama hantu itu kan jarang dipakai, dan dipermainkan begitu rupa. Kemudian deskripsi dalam novel itu, mungkin karena Ayu biasa reportase sebagai wartawan, hidup sekali. Sehingga misalnya, menggambarkan oil rig di laut begitu hidup. Karena Ayu juga melakukan riset. Keempat, ceritanya, dari empat tokoh dari cerita yang berbeda-beda dan perempuan. Kelima persoalan-persoalannya bukan hanya individu tapi juga politis. Itu terangkum semua. Dan yang terang, enak dibaca.
Mungkin dalam waktu-waktu mendatang akan banyak novelis lain yang melahirkan karya sangat baik. Nukila Amal termasuk yang akan hebat. Cala Ibi itu dari segi petualangan bahasa lebih dashyat daripada Saman. Ekperimen bentuknya juga berani.
PLAYBOY: Kalau dalam puisi?
GOENAWAN: Puisi banyak. Joko Pinurbo termasuk yang bagus sekali. Banyak nama yang tidak bisa saya sebutkan. Mardi Luhung atau dari Iswadi dari Lampung, Ari Batubara juga bagus. Kata Nirwan puisi banyak yang jelek. Tapi dari yang saya baca akhir-akhir ini di Kompas bagus-bagus.
PLAYBOY: Bagaimana kritik Saut Situmorang tentang TUK yang mendominasi festival sastra internasional?
GOENAWAN: Kalau disangka kami menguasai semuanya tidak betul juga. Misalnya festival sastra internasional kan tidak hanya yang diselenggerakan TUK tapi juga DKJ dan Rendra. Kedua, pilihan luar negeri itu tidak ditentukan oleh TUK. Dunia internasional dekat dengan TUK tapi mereka memilih sendiri. Yang kadang-kadang kami ragukan, tapi mereka memilih apa boleh buat. Ketiga, pengaruhnya apa sih. Penguasaan itu berupa apa?
PLAYBOY: Akses bagi sastrawan lain?
GOENAWAN: Kan ada banyak media di dunia, bahkan di Jakarta ini. Memang orang TUK punya peranan di Kompas maupun Koran Tempo, tapi kan tidak berarti diisi oleh orang-orang itu itu saja. Jangan lupa kalau dalam kode etik Utan Kayu itu, kalau karya anggota komunitas sendiri tidak bisa dipentaskan. Anggota komunitas tidak bisa menjadi peserta festival sastra yang diselenggarakan Utan Kayu. Seperti karya saya atau Sitok, tidak bisa diikutkan.
PLAYBOY: Bila melihat konflik seniman Lekra dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu) tahun 60an sebagai sebuah dialektika, apa tesis baru dari sana?
GOENAWAN: Mungkin berlangsung tesis baru tapi belum dirumuskan. Apa yang bisa ditarik dari sana bahwa ide itu penting, prinsip-prinsip penting dalam berkesenian dan politik. Terutama mengenai kebebasan kreatif. Perdebatan mengenai itu dari pandangan yang berbeda sangat vital bagi kehidupan seni. Sayangnya polemik itu tidak berlangsung cukup baik dan ditutup dengan pemberangusan terhadap karya-karya Manikebu. Pemberangusan yang terjadi atas karya-karya Lekra dan pemikiran-pemikiran Marxisme sama jeleknya dengan pemberangusan terhadap karya-karya dan pemikiran Manifes. Kedua-duanya menghentikan proses pencarian pemikiran alternatif.
Manikebu itu sebetulnya suatu tesis baru yang timbul antara mereka yang berbendapat bahwa seni adalah alat untuk perjuangan politik dan di sisi lain yang ekstrim adalah seni yang tidak ada urusannya dengan politik. Manikebu mencoba memberi alternatif, memang kesenian tidak bisa diperalat, tapi bukan berarti tidak ada kesadaran proses politik selalu terjadi. Tapi (seni) harus bebas dari diperalat. Seni ekspresi perjuangan juga, tapi tidak diperalat oleh sesuatu kekuatan di luar dirinya.
PLAYBOY: Kesenian yang tidak pretensius?
GOENAWAN: Bukan soal pretensi. Yang dilawan Manikebu adalah semboyan politk sebagai panglima. Dalam arti partai politik sebagai panglima. Khususnya partai yang berkuasa. Kesusasteraan dan kesenian tidak bisa didikte oleh kekuasaan politik atau partai. Tapi tidak berarti di dalam usaha pembebasan manusia, sastra dan kesenian tidak terlibat. Sebagaimana perjuangan politik adalah usaha pembebasan, perjuangan kesusateraan juga adalah perjuangan pembebasan. Tapi tidak berarti perjuangan politik menjadi majikan perjuangan kesusasteraan. Kenapa tidak sejajar.
Dulu ada kata-kata Sitor Situmorang: revolusi mengabdi pada manusia, sastra yang mengbadi pada manusa harus mengabdi pada revolusi. Arief Budiman membantah, dia katakan kucing mengabdi pada manusia, anjing mengabdi pada manusia juga. Tapi tidak berarti kucing mengabdi pada anjing. Kenapa tidak sama-sama mengabdi. Jadi bukan masalah sasatra yang tidak mau terlibat dalam perjuangan, tapi keterlibatan itu harus bebas. Tidak didikte yang lain tapi oleh dinamika sastra itu sendiri, kebebasan pikiran dan kreatif sastrawan sendiri. Dan akhirnya terbukti sosialisme macet dan menimbulkan penindasan. Di Soviet, Cina, hasilnya setelah diterapkan rumus realisme sosialis, dunia kreatif mereka mati total. Tapi harus dicatat pemikiran realisme sosialis di Indonesia itu belum matang.
PLAYBOY: Belum matang?
GOENAWAN: Yang tertarik berteori itu cuma Pram. Itupun baru.
PLAYBOY: Tapi ada kelompok-kelompok muda seperti Taring Padi yang juga bergerak di wilayah realisme sosialis?
GOENAWAN: Saya setuju dengan prinsip Taring Padi. Dan kelihatan Taring Padi kan tidak mengbadi pada apapun, tidak ada partai yang mengontrol. Realisme sosialis yang diambil Pram dari Andrei Zhdanov itu mengabdi pada partai. Taring Padi sama dengan Manikebu sebetulnya. Berjuang tanpa komando partai. Saya menulis puisi, ya saya menulis puisi. Kalau saya berjuang politik, saya tidak akan memperalat puisi saya untuk perjuangan politik. Jadi saya tidak akan menulis puisi memaki-maki Soeharto. Tapi saya akan menulis makian pada Soeharto di tempat lain.
Saya pernah membaca sajak Ho Cho Minh itu tidak ada: “Perang, maju, ganyang.” Puisinya mengenai bulan dan hal-hal yang sederhana, dan indah. Tapi dia pemimpin revolusi sejati. (Pablo) Neruda puisinya cinta. Dia anggota partai komunis yang patuh. Picasso anggota partai komunis. Nah seandainya hidup di bawah Stalin, Neruda, Picasso itu habis.
PLAYBOY: Anda termasuk paling muda di Manikebu, tapi peran Anda sangat penting?
GOENAWAN: Iya saya paling muda. Saya dan Arief sudah menulis. Arief lebih tua setahun dari saya. Lalau majalah sastra tempat kami menulis diserang habis. Lalu dipaksa untuk mengimposisi doktrin-doktrin realisme sosialis. Saya tidak suka. Lalu kami mendorong yang tua-tua. Sebetulnya yang tua-tua itu saling berantem. HB Jassin dengan Wiratmo (Soekito) itu tidak ramah tamah. Ego masing-masing. Yang mendorong mereka berkumpul kami yang muda-muda, saya, Arief. Salim Said juga, meski waktu itu dia belum menulis. Slamet Sukiranto juga.
Gerakan itu repson dari tekanan kreatif yang menurut saya mengganggu betul. Kami kan tidak berpartai, tidak antusias dengan partai. Tapi oleh Pram, semuanya harus berpartai. Kalau tidak berarti gelandangan politik. Masa’ semua perjuangan harus lewat partai. Memang sikap antipartai bisa berhaya, saya sadari itu kemudian. Tapi kalau sastrawan menulis tanpa komando partai, itu tidak salah. Karena itu sikap saya sekarang mendukung PAN, kalau ada teman mendukung PDI-P saya anjurkan. Partai harus diperkuat. Tapi kalau menulis saya tidak mau didikte oleh partai, meski itu partai yang saya pimpin sendiri. Puisi saya tidak mau dikomando oleh perjuangan politik saya. Dalam hidup selalu perlu ada ruang yang cukup untuk hal-hal yang privat, sederhana, kecil, romantik, tidak berguna. Harus selalu ada. Tidak selamanya harus menjadi total untuk perjuangan. Itu bisa membinasakan kemungkinan-kemungkinan manusia, membinasakan yang berbeda dalam diri manusia.
Kita kan sebetulnya terdiri dari kemungkinan-kemungkinan yang berbeda. Kalau semua ditarik untuk mencapai satu hal, kepentingan partai atau dapat duit, atau dapat istri itu namanya hidup dijajah oleh tujuan. Ada seorang penyair mistik dari Jerman yang mengatakan bunga mawar ada tanpa kenapa. Kenapa harus kenapa, kenapa harus untuk apa. Kita tidak tahu untuk apa itu. Tidak semua hal bisa ditanya untuk apa. Kapitalisme maupun komunisme penuh penunggangan oleh tujuan. Saya tidak mau.
PLAYBOY: Karena itu Anda tidak ikut ketika beberapa tokoh Manikebu lain menentang Pram menerima hadiah Magsayasay, Anda juga membawa Amarzan Loebis ke Tempo?
GOENAWAN: Karena menurut saya suara mereka layak didengar, dan tulisan mereka layak dibaca. Siapa bilang tulisan Amarzan jelek? Tulisan Pram layak dihidupkan dalam khasanah sastra Indonesia. Kalau suasana represi ini diteruskan, mula-mula yang antikomunis represif, lalu yang komunis represif, akan sama saja. Kalau kita menentang represi, bukan hanya represi untuk diri sendiri. Sebab sikap antirepresi adalah merayakan perbedaan-perbedaan. Memang tidak mudah dipahami termasuk oleh teman-teman saya sendiri.
PLAYBOY: Seiring lahirnya Orde Baru, Manikebu juga keluar sebagai pemenang. Anda ingin jauh dari suara seorang pemenang?
GOENAWAN: Bukan begitu. Saya lihat orang–orang komunis sama patriotiknya dengan yang bukan komunis, sama-sama ingin membikin Indonesia lebih baik. Saya selalu teringat kata-kata Soe Hok Gie di halaman depan skripsinya: “Untuk mereka yang berjuang untuk Indonesia, di kiri maupun di kanan.”
PLAYBOY: Ayah Anda juga seorang kiri, tidak mempengaruhi Anda menjadi pelaku doktrin kiri?
GOENAWAN: Iya, Bapak saya seorang kiri. Saya terlalu kecil waktu itu untuk mengerti. Kakak saya, Kartono, cerita dalam perpustakaan bapak saya itu Karl Marx isinya. Dia aktivis politik, pelopor kemerdekaan. Dia dibuang ke Digul bersama ibu saya. Pulang, tahun 1945, Belanda datang dia ditangkap, ditembak mati. Saya umur lima tahun ketika itu.
Kalau ibu saya meninggal cukup tua. Setelah bapak saya meninggal ibu harus berjuang karena kami harus sekolah. Bagi orang tua kami, apapun dikorbankan untuk sekolah.
PLAYBOY: Apa yang berbeda dari dinamika pelaku kesenian sekarang dibandingkan saat Anda masih muda?
GOENAWAN: Anak sekarang lebih pintar-pintar. Banyak eksplorasi, kontak ke luar negeri. Saya lihat seni rupa kita maju pesat. Beberapa prosa dari anak-anak muda yang saya baca di Koran Tempo, pengenalannya pada dunia sastra luas sekali. Tidak ada di zaman saya. Generasi sekarang bahasa asingnya lebih bagus dan rajin membaca. Zaman saya, yang mungkin serious membaca hanya Arif Budiman dan saya. Kalau Sapardi dan Rendra itu di atas saya, mereka juga pembaca serius. Generasi 45 bahasa asingnya bagus, generasi setelah itu bahasa asingnya agak berantakan. Memang ada pengecualian seperti Rendra.
Saya kagum pada Rendra. Sebagai penyair, kekuatan inovatifnya pada tahun-tahun itu belum tertandingi, mungkin sampai sekarang. Tapi sekarang, ada Sutardji (Colzum Bahri) yang juga inovatif. Pada generasinya, Rendra tidak ada yang mengalahkan. Beberapa puisinya sampai sekarang kekal, seperti Nyanyian Angsa, Khotbah.
PLAYBOY: Dia juga banyak menulis jargon?
GOENAWAN: Iya memang kemudian dia banyak menulis pamflet, jargon. Dan kadang-kadang seperti khotbah. Capek dengarnya. Tapi saya pernah mendengarkan dia membaca puisi yang belum pernah dipublikasi di Magelang. Rekaman perasaan sewaktu dia sakit. Bagus sekali, dan cara dia membacakan puisi… wah. Ajaib kalau Rendra membaca puisi.
Kalau anak-anak sekarang, luar biasa. Lebih mengagumkan, lebih asyik. Saya senang bergaul dengan yang muda-muda. Karena dari mereka saya belajar banyak.
PLAYBOY: Anda pasti sedang merendah?
GOENAWAN: Ini bukan sok merendah hati. Betul. Omong kosong kalau saya tidak belajar dari mereka. Saya belajar soal posmodernisme, dari Nirwan (Dewanto), (Ahmad) Sahal, lalu saya pelajari sendiri. Sebelumnya saya cuma tahunya eksistenasialisme, marxisme tok.
PLAYBOY: Kalau wacana poststrukturalisme?
GOENAWAN: Iya itu juga baru saya pelajari. Bahwa saya cepat mempelajarinya karena saya terlatih dalam filsafat. Dan untungnya bahasa asing saya lumayan. Tanpa anak-anak muda, saya akan seperti orang-orang seusia saya, tidak bunyi. Berbahagia sekali saya banyak bertemu anak-anak muda cemerlang.
PLAYBOY: Filsafat apa yang mencerahkan Anda pada awalnya?
GOENAWAN: Mungkin pertama kali itu, Freud. Saya baca waktu SMP, dari bahasa Inggris. Kalau Kartono sudah banyak baca dari SD, dia banyak diajari kakek saya. Saya nggak terlalu kecipratan. Freud membuat banyak hal yang kaku dan beku menjadi terguncang dengan idenya tentang alam bawah sadar, tubuh sebagai sebuah ungkapan besar. Orang selalu salah, Freud hanya bicara tentang seks. Tidak. Marx juga. Zaman 60an itu semua orang harus belajar Marxisme. Saya juga membaca dari Lenin, Marx, Engels, Mao Tse Tung. Dan dulu buku-buku yang mudah didapat kan dari Soviet. Saya juga punya teman yang baik seperti Wiratmo Soekito yang buku-bukunya tentang Marxisme bagus bagus. Aneh ya.
PLAYBOY: Setelah Marxisme?
GOENAWAN: Kemudian eksistensialisme, yang sempat menjadi mode, dibaca orang. Albert Camus memang menarik. Setelah tahun 80an saya semakin banyak mengerti yang baru dan cocok. Saya banyak cocok dengan (Jacques) Derrida. Kemudian sekarang Ernesto Laclau. Dia pemikir politik dari Argentina, bekas aktivis gerakan buruh.
PLAYBOY: Karena Laclau juga tidak jauh dari tradisi Marxis?
GOENAWAN: Dia punya teori sejarah dan politik yang menurut saya cocok. Laclau ini dengan seorang perempuan Chantal Mouffe meneruskan tradisi (Antonio) Gramsci. Jadi kembali-kembalinya masih pengaruh Marx dan Freud masih kuat dalam pikiran saya.
PLAYBOY: Anda juga banyak memperbincangkan Jacques Lacan, karena benang merahnya masih dari Freud?
GOENAWAN: Ya, kesukaan saya pada Freud dilanjutkan dengan keterpikatan saya pada Jacque Lacan. Di luar itu semua ada masalah agama, mistik, Iqbal, pemikiran-pemikiran baru agama dan sufisme.
PLAYBOY: Untuk melihat kesenian, jalan filsafat mana yang Anda suka?
GOENAWAN: Heidegger. Dia banyak pengaruh dari Derrida. Untuk memahami puisi, saya suka dengan Heidegger.
PLAYBOY: Kenapa?
GOENAWAN: Heidegger punya filsafat yang meletakkan, saya, Anda, sebagai bagian dari dunia kefanaan, bagian dari alam, tidak manusia sebagai pusat. Manusia sebagai pusat itu akhirnya menjadi penakluk alam, juga penakluk orang lain. Sejarah yang kita pelajari menunjukkan pada akhirnya mereka terbentur pada kegagalan.
PLAYBOY: Kalau kita semua filsuf, apa proyek filsafat Anda?
GOENAWAN: Pembebasan mungkin.
PLAYBOY: Saya masing ingat ketika di Ubud ada seorang penulis dari Austria yang mempertanyakan keheranannya ternyata orang Indonesia seperti Anda yang bisa membicarakan filsafat seperti Heidegger, Lacan dengan lancar. Sebagai yang sering terlibat dalam forum intelektual di luar negeri, Anda sering mengalami itu?
GOENAWAN: Iya (tertawa). Mereka heran kenapa kita biasa membicarakan Heidegger, Gramsci, Derrida sambil ketawa-tawa. Fun. Jangan anggap enteng Indonesia lah. Saya ini kesel kalau Indonesia dianggap enteng. Tapi kalau orang menguji Indonesia kita pura-pura kalem saja.
PLAYBOY: Mereka menganggap kita masih rimba belantara yang perlu ditaklukkan?
GOENAWAN: Betul. Kalau tidak, (kita) harus cocok dengan pandangan mereka tentang kita. Lihat saja musik Tony Prabowo. Banyak orang barat tanya, kok bukan gamelan. Saya pernah ceramah di luar negeri, mengutip Heidegger. Ada yang tanya, kenapa tidak mengutip puisi Indonesia? Dijawab oleh dosennya: “Lah, dia senang kok.” Mereka senang mematok kita, bahwa orang Jawa harus mewakili kejawaan.
PLAYBOY: Pram dengan lantang menolak kejawaannya.
GOENAWAN: Itu bagus. Saya suka Pram bilang itu. Tidak boleh dipatokkan orang dalam satu suku. Suku itu apa sih?
PLAYBOY: Konstruksi sosial ya?
GOENAWAN: Itulah bagusnya kita belajar poststrukturalisme. Semua itu konstruksi sosial politik. Dan memang betul kan.
PLAYBOY: Anda ikut menyusun platform PAN. Partai itu ingin menggabungkan potensi intelektual Islam modern dengan kaum liberal. Itu bisa terjadi?
GOENAWAN: Akhirnya memang tidak berhasil. Dari awal sudah banyak kompromi dan kemudian semakin banyak kompromi di dalamnya. Apa boleh buat, PAN memang begitu. Saya sabar aja.
PLAYBOY: Bagi Anda mengombinasikan dua kekuatan itu proyek yang menarik?
GOENAWAN: Penting. Bukan harus menarik. Karena partai saya sebenarnya saya tidak tertarik. Tapi terpaksa, karena memang harus lewat saluran itu. Kalau tidak salah, (Jimmy) Carter, dia orang Kristen yang baik, mengatakan politik itu tugas sedih. Dan memang sedih.
PLAYBOY: Bagaimana metode anda menulis Catatan Pinggir, sejak dari penemuan tema sampai eksplorasinya?
Kadang-kadang dipicu persitiwa yang terakhir. Lalu saya memikirkan lebih lanjut, dan sedapat mungkin saya menyajikan sesuatu yang belum dilihat. Tapi kalau nggak ada peristiwa, saya harus cari ide sendiri. Lebih banyak tergantung pada suasana hati saya, kesibukan pikiran dan kecapekan, semangat atau kemarahan saya. Tidak pasti, meskipun rutin.
PLAYBOY: Kalau sedang di luar negeri, tapi Anda ingin mengutip dari suatu buku yang pernah Anda baca. Anda memang mengingatnya?
GOENAWAN: Kalau perlu bukunya, ya beli. Tiap minggu (menulis Catatan Pingir) itu sebenarnya perjuangan berat (tertawa). Saya melakukannya kadang-kadang dengan kebanggaan, dengan kesombongan, kadang karena dorongan kesal pada keadaan, sedih. Kadang-kadang saya mengutuk, kenapa ini saya lakukan terus-menerus.
PLAYBOY: Kutukan?
GOENAWAN: (tertawa) Semacam karma. Tapi ya kalau tulisannya bagus saya senang. Kalau tidak bagus saya mencoba melupakannya.
PLAYBOY: Kenapa Anda berpikir esai yang baru Anda kerjakan tidak bagus?
GOENAWAN: Tergesa-gesa. Saya membutuhkan lima jam untuk menulis.
PLAYBOY: Lima jam?
GOENAWAN: Lima jam nonstop. Saya tidak tidur, tidak makan. Itu kan menyiksa.
PLAYBOY: Tidak pernah dalam satu jam?
GOENAWAN: Tidak bisa. Paling cepat tiga jam. Saya mengalami masalah kalau meninggalkan tulisan yang belum jadi untuk tidur atau makan. Tidak tentram. Ada teman yang pernah tinggal dengan saya di Amerika bilang, sebenarnya saya tidak bisa menjadi penulis, masa’ tiga hari tiga malam tidak tidur. Tidur saya jadi kacau. Karena itu orang susah tidur dengan saya, termasuk istri saya. Karena jam tiga pagi saya bisa bangun untuk menulis. Sampai jam 8.
PLAYBOY: Apa judul catatan Pinggir menurut Anda yang terbaik?
GOENAWAN: Belum ada. Kadang setelah menulis saya menganggapnya sangat baik, tapi minggu berikutnya rasanya kok jelek ya. Sekarang karena ada Tempo versi Inggris dan online saya lebih bisa memperbaiki. Lalu saya kirim lagi. Kadang berulang-ulang saya tulis, sehingga redaktur bahasa sering kesal, “mana nih yang mau dipakai?” Setelah saya kirim saya bilang versi terakhir: “Final!” Tapi setelah dimuat, celaka ada yang salah. Untuk versi online dan Inggris sering saya perbaiki. Mungkin ada satu penyakit saya, dalam soal ini, saya obsesif. Untuk perfect. Dan itu menyiksa sebenarnya. Harusnya rileks saja ya. Habis itu kan dilupakan orang juga.
PLAYBOY: Catatan Pinggir tentang Sukardal, masih banyak yang membicarakannya karena menghidupkan kisah bunuh diri tukang becak. Dia bukan siapa-siapa dan kejadian itu sudah sangat lama.
GOENAWAN: Begitu ya? Saya tidak menyangka akan begitu. Kalau kamu tertarik, kamu harus menuliskan ulang tentang Sukardal. Bagus kalau cerita itu masih hidup.
PLAYBOY: Kalau menulis puisi?
GOENAWAN: Juga begitu. Makanya puisi saya sedikit. Tidak produktif seperti teman-teman lain. Mungkin karena itu saya tidak berani menulis novel, seperti perjalanan bunuh diri ya. Baru satu chapter, bisa saya ulangi berkali-kali. Nggak bakal jadi-jadi.
PLAYBOY: Dari karya esai Anda terlihat Anda seorang yang ragu-ragu?
GOENAWAN: Mungkin betul, dalam arti saya tidak mudah untuk memberikan penilaian tentang hidup dan manusia lain. Karena memang kompleks. Saya tidak punya sikap yang cepat menghakimi. Karena saya selalu terbentur pada kenyataan bahwa saya terbatas juga. Dan tugas tulisan bukan memberikan kepastian tapi justru menggugat kepastian. Mempersoalkan kepastian sehingga orang selalu menjelajah untuk menemukan kemungkinna-kemungkinan baru dari segi-segi yang tidak terlihat. Apa yang saya pelajaran dari dekonstruksi, misalnya, adalah bahwa yang lain yang tidak terlihat, yang terepresi itu selalu penting. Mungkin saya terlihat ragu-ragu karena saya selalu memberikan kemungkinan bahawa yang tak terlihat itu ada dan luput oleh kita.
PLAYBOY: Anda ingin menghindari kepastian karena tak ingin menjadi dogma?
GOENAWAN: Betul. Suatu kepastian bisa menjadi dogma, apalagi yang diutarakan oleh pengarang. Karena pengarang sering dianggap sebagai pujangga, pemberita terakhir kearifan. Pelajaran dari Freud penting karena ternyata dalam diri pengarang ada hal-hal yang dia tidak sadari.
PLAYBOY: Mungkin karena itu Anda masuk ke wilayah puisi, bukan novel?
GOENAWAN: Betul. Kalau menulis filsafat, filsafat saya juga diganggu oleh puisi saya. Ignas Kleden pernah menulis Catatan Pinggir banyak diberi bumbu puitik. Bagi saya bukan bumbu, bukan hiasan. Puisi adalah keniscayaan dari bahasa yang mencoba menangkap kehidupan dengan segala kegelapannya. Bahkan banyak gema-gema yang tidak selamanya cerah yang hidup di dalam puisi. Tidak berarti memperindah-indah. Hanya mengganggu yang lurus dan konsep-konsep yang sudah beku. Saya kira ada baiknya pemikiran yang konseptual itu terganggu oleh puisi.
PLAYBOY: Anda dikabarkan dekat dengan banyak perempuan?
GOENAWAN: Apa yang kamu dengar gosip tentang saya dan perempuan-perempuan muda itu?
PLAYBOY: Cukup banyak, untuk pria yang usianya lebih tua dari republik ini.
GOENAWAN: Saya dilahirkan di keluarga yang lebih banyak perempuan. Mudah bagi saya dekat ke perempuan. Tentang saya banyak gosip. Saya anggap gosip setengah menyenangkan dan setengah menjengkelkan.
PLAYBOY: Apa bagian yang menyenangkan dan apa yang menjengkelkan?
GOENAWAN: Digosipkan kan keren. Kayaknya saya jagoan. Menjengkelkannya, kadang-kadang berlebihan dan destruktif bagi orang lain. Tapi pada dasarnya saya memang suka flirt.
PLAYBOY: Kenapa?
GOENAWAN: Karena menurut saya itu asyik aja. Seperti berdebat, seperti main pingpong. Tapi bayangkan sesibuk saya ini masa’ digosipkan pacaran dengan begitu banyak orang. Mana ada waktu saya. Selalu kan, orang sedikit terkenal ada gosip mengenai seks. Selalu. Pak Harto begitu. Menurut saya kebanyakan (gosip) tak masuk akal, tapi orang senang. Gosip itu bumbu percakapan, meski kadang kebanyakan. Saya juga suka bergosip. Jadi saya mengerti bagaimana gosip bekerja atas saya. (tertawa) Biar sajalah. Apalagi pekerjaan yang sekarang, itu tujuh penari cantik-cantik.
PLAYBOY: Goenawan Mohamad mungkin figur yang menarik bagi banyak wanita?
GOENAWAN: Saya? 65 tahun? Yang benar saja. Sudah tua. Kamu yang banyak orang tertarik, saya nggak. Saya harap begitu, tapi nyatanya nggak (tertawa).
Menurut kamu begitu? Senang saya mendengarnya (tertawa).
INTERPRETED YOUR SELF ..!!