Berikut ini adalah Catatan pinggir yang di tulis Goenawan Mohamad dengan judul Cebolang yang dimuat pada Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009
Cebolang
Teater itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terkadang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya, ekspresinya bisa tangis.
Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang satu ke idiom yang lain.
Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang manapun kini, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khasanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu – sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri – adalah sebuah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang.
Sejarah kebudayaan itu dapat disebut “Jawa”, tapi yang tak dapat ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Qur’an dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang sering dianggap “kasar” dan “kurang-Jawa”.
Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di kota Slawi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir tak pernah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang tanpa dibayar.
Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang kiyai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia seorang santri yang keras.
Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia tak bertahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya, sebab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke Solo dan kuliah di STSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wilayahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya. Selain mendalang — dan jadi penerus ayahnya – ia ikut dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab dengan Rendra.
“Saya ini seperti Karna”, katanya pada suatu ketika “Tak punya bapak yang jelas. Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiyai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain”.
Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.
Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang mearikan diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram menyerbu.
Gundono beruntung. Centhini — karya 4200 halaman, 722 tembang, 2000 bait itu tak jauh dari dunia yang amat dikenalnya: yang santri dan yang “abangan”. Di sana ritual dan mistik Islam berbaur dengan kegembiraan dan keleluasan erotik di pedudunan Jawa –dan membentuk sebuah dokumen kebudayaan yang padat dan mengasyikkan, puitis dan jenaka, ganjil dan sehari-hari.
Lebih beruntung lagi, Gundono memakai versi yang berkisah, dengan judul Cebolang Minggat. Centhini-nya bukan seperti mummi di museum. Sang dalang bekerja sama dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan mengatakan: “Ini adalah Centhini abad ke-21”.
Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. Ia, tulisnya, “seorang petualang dan pencinta Jawa.” Ia menggubah kembali karya panjang yang di sana-sini membosankan itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandraan yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan teks asli. Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah. Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari Gargantua Rabelais. “Centhini, c’est Rabelais!” kata Sejarawan Onghokham kepada sang penyadur.
Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya Centhini – teks yang merupakan pertemuan berbagai alir. Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan, nostalgia, dan kreatifitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti dikatakan dalam pengantar, adalah “pengembaraan edan luar batas.”
Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu Inandiak duduk di depan laptop. Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis, lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: “Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana…”
Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini agak kikuk, dan Ianindak melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan akhir – tapi itu justru yang menyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundono meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam upacara santri, dan gamelan, dan joged, dan suara bariton yang berkisah…
Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang melarikan diri dari rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang. Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan “ilmu yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lainnya”.
“Ayahanda, ilmu apa itu?”
“Cinta”.
~Majalah Tempo Edisi 23 Februari 2009~
Darwin Februari 16, 2009
Posted by anick in Agama, All Posts, Tokoh, Tuhan.
101 comments
Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evidences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.
Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang beragama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang mengontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.
Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hidup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.
Demikian tadi Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad dengan judul Cebolang Catatan tersebut dimuat di Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009