Pagoda
Agama dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir di dekat Budha malam itu. Setelah enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….”
Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous, sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”.
Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror — tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: konstruksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang berkilau – dan umat yang makmum, berdesak..
Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori William James, “seorang jenius”) akhirnya selalu dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh – yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal. Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.
Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhirnya toh menghasilkan seni bangun yang mengesankan: Gereja Sacré-Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan ribuan pagoda yang dari langit Bagan tampak bak deretan bringin hutan di sebuah dataran Myanmar. Fantasi itu buah rindu. Ia tanda damba, takjub dan takzim kepada yang kekal, luhur, dan mempesona – sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab yang dirindukan mustahil tercapai..
Maka fantasi adalah jejak ketak-mampuan mencapai..Ia mempertegas sebuah subyek yang muncul sebagai kekurangan. Tapi juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak terjangkau tangan, tak terpeluk hati – seperti berhala yang menggantikan Rupa yang jauh.
Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefinisikan oleh ingin – bukankah itu menunjukkan benarnya cattāri ariyasaccāni?
Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut “empat kebenaran yang luhur”. Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan milik dan milik atas hasrat.
Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam dan di luar diri.
Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih – dan tak hanya berupa mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum.
Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan – persis seperti ketika kita membangun imperium dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan “kasih dan ngeri”. Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.
Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.
Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya”.
Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis. itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi “punya” (to have) ketimbang oleh dimensi “ada” (to be).
Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di Dharmasala – pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan – pada mulanya seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya.
Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.
Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang.
Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana? Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini — korup, licik, ambisius, rakus, buncit – seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah?
“Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata terbakar..”.
Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.
~ Majalah Tempo Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret – 01 April 2007 ~