Konstitusi
— kepada para jenderal yang kehilangan kekuasaan
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, lihatlah: konstitusi bukanlah wahyu, bangsa ini bukan makhluk dongeng.
Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu burung. Kita bukan peri.
Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti benda sakti dengan nama ”UUD 45” itu—tak datang dalam dunia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari himpunan manusia yang konkret dan bisa sakit itu.
Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah orang—kini disebut sebagai bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan Juli 1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemerdekaan”, mereka dianggap mewakili pergerakan rakyat ”Indonesia”. Tetapi ada yang tak mudah dijawab dalam soal ini: bagaimana itu mungkin, jika saat itu ”Indonesia” belum ditentukan batasannya?
Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat Indonesia? Penguasa militer Jepang yang waktu itu sedang akan kalah dalam Perang Pasifik tentu mendengarkan sejumlah penasihat—termasuk Bung Karno dan Bung Hatta—tentang siapa saja yang harus diundang ke rapat persiapan itu. Tapi pada akhirnya kekuasaan de facto itulah yang menentukan, lengkap dengan unsur pemaksaan yang entah harus dipertanggungjawabkan kepada siapa, sesuatu yang lazim terjadi di masa genting dan tergopoh-gopoh seperti itu.
Dengan kata lain, Indonesia adalah persilangan dua jenis waktu. Yang pertama waktu yang tak dapat ditandai—waktu yang berlangsung bersama tumbuhnya keinginan kita dan para pendahulu kita untuk jadi satu bangsa. Yang kedua waktu yang bisa ditandai dalam sebuah titimangsa, misalnya 17 Agustus 1945.
Bahwa waktu yang kedua itu kemudian melampaui batasnya sendiri—17 Agustus 1945 hanya berlangsung selama 24 jam, tapi ia seakan-akan berlangsung terus hingga 2007—itu berarti bahwa waktu yang pertama itulah yang menentukan. Keinginan jadi satu bangsa tumbuh sebelum hari itu, dan terus tumbuh setelah hari itu. Angka ”45” yang sering kalian anggap keramat itu jadi berarti justru karena ada sesuatu yang tak stop di sana.
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahukah kalian, konstitusi yang disebut ”UUD 45” itu hanyalah satu formulasi dari pelbagai keinginan yang belum terpenuhi semuanya? Angka ”45” hanyalah sebuah momen; naskah yang ditandatangani di hari itu juga hanya sebuah momen. Waktunya terbatas. Memang momen pada gilirannya dapat berubah bagaikan sebuah monumen. Tapi itu terjadi ketika dalam keterbatasannya sang momen mendapatkan peran dan makna karena bertaut dengan waktu yang tak dapat ditandai, waktu yang datang sebelumnya dan sesudahnya, waktu yang entah di mana berawal dan berakhir, waktu yang menyebabkan bangsa ini ada dalam sejarah—dan ada dalam keadaan yang serba mungkin.
Monumen, kita tahu, bukan barang mati. Ia jadi barang mati jika ia tak lagi ditafsirkan terus-menerus.
Sebuah konstitusi—berbeda dengan sebuah puisi—memang berniat membatasi penafsiran yang nyaris tak terbatas. Tetapi sebuah konstitusi akan jadi sesuatu yang segera usang jika ia tak dilihat sebagai teks yang terbatas dan bersifat membatasi—dan dalam posisi itu ia sebenarnya merupakan ”momen” dari kehendak akan keadilan yang tak kunjung padam dalam hati manusia. Tiap konstitusi hanyalah jawaban di suatu saat atas imbauan keadilan yang selalu dijanjikan, keadilan yang selalu akan datang.
Dengan kata lain, wahai para jenderal yang kehilangan kekuasaan, tiap undang-undang dasar adalah undang-undang dasar sementara. Sebagai tanda bahwa para anggota panitia persiapan kemerdekaan dan perumus UUD 45 bukanlah sejumlah makhluk ajaib, mereka mencantumkan satu kalimat yang sederhana, rendah hati dan arif: di sana dibuka kemungkinan bahwa kelak konstitusi ini dapat direvisi. ”Jangan sekali-kali menyembah aksara!” kata Bung Karno suatu kali.
Jenderal, kini tahun 2007. Setelah melalui waktu yang lama—dengan rekaman kesalahan yang panjang pula—aksara itu sebagian diubah dengan drastis. Dalam amendemen yang telah berlaku kini, seorang presiden tak lagi dibiarkan terus-menerus berkuasa; kita telah melihat akibatnya di bawah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Hak-hak asasi manusia dicantumkan dengan tegas, setelah begitu banyak manusia kalian bunuh dan penjarakan hanya karena berbeda pendapat dengan yang berkuasa. Diskriminasi rasial ditiadakan. Presiden dipilih langsung rakyat. Pemilihan umum berlangsung bebas. Genggaman sentralistis ke daerah praktis dilepaskan….
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, amendemen itu tak sempurna memang. Tapi ingat: mereka yang melakukan perubahan itu adalah legislator yang dipilih rakyat—yang memang tak perlu peduli akan suara orang tua yang jadi cengeng. Dan akan lupakah kita bahwa sejumlah mahasiswa telah tewas buat membuka jalan bagi para legislator itu untuk bisa bekerja di Senayan, hingga UUD 45 diperbaiki dan demokrasi ditegakkan?
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahu dirilah kalian! Darah yang mengalir di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya, di pelbagai petak jalan di seluruh Tanah Air, menunjukkan bahwa amendemen konstitusi itu juga datang bukan dari langit, melainkan dari marah dan kepedihan. Sekali lagi keadilan mengimbau, dan hari mengandung janji—dalam pergulatan yang bahkan lebih sengit ketimbang ketika UUD 45 dirumuskan di gedung yang tenang di Menteng yang nyaman, di Jakarta yang dijaga tentara Jepang.
~ Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari – 04 Februari 2007 ~