Mati
Dan kematian makin akrab.
Begitu banyak orang mati di dekat kita hari-hari ini: dalam sekejap, beberapa ratus meninggal, bahkan lenyap, karena kecelakaan pesawat terbang di udara yang pekat dan guncang, karena tenggelamnya kapal di laut yang gaduh, karena tanah longsor yang membunuh, karena flu burung yang konon berkecamuk—meskipun di sini kematian relatif tidak kerap—atau karena anjloknya kereta api….
Dan kematian makin akrab—sepotong kalimat dalam sajak Subagio Sastrowardojo.
Kalimat itu mengejutkan, memang. Sebab, dalam imajinasi manusia berabad-abad, tak terbayangkan ada keakraban antara kematian dan kita sehari-hari. Dalam Kitab Wahyu 6:8 ada gambaran yang mengusik dan mengilhami imajinasi orang Nasrani dari zaman ke zaman: imaji seekor kuda berwarna putih pucat yang berderap datang, dan Maut duduk menungganginya….
Di situ Ajal datang dari jauh. Ia datang dengan deras.
Tapi kalimat puisi Subagio tak aneh, bila, dalam meditasi yang senyap, kita bisa merasakan betul bahwa ajal sebenarnya tak datang dari ufuk nun di sana. Kematian tersemat dalam hidup. Ketiadaan berada di dasar ada.
Mungkin jarak antara ajal dan kehidupan adalah beda yang dirumuskan nenek-moyang kita ketika mereka kemekmek, ngeri, tapi tak mampu memecahkan misteri asal dan akhir manusia. Bahasa pun memberi nama ”Maut”, dan kita bayangkan ia sebagai satu sosok yang mengancam: satu makhluk lain dari benua yang terpisah dan tak diketahui.
Dalam pewayangan Jawa, sang Maut adalah Yamadipati, putra Sang Hyang Ismaya dan Dewi Sanggani. Asal-usulnya dapat ditemukan pada keyakinan Hindu, yang menggambarkan Yama dalam bentuk buruk dan ganjil dengan kulit yang berwarna hijau atau merah. Ia duduk di atas punggung kerbau, memegang seutas jerat di tangan kirinya. Dengan jerat itu, ia sambar nyawa manusia.
Kematian adalah kekerasan—begitulah agaknya yang tersirat dalam citra jerat itu. Sama dengan yang kita temukan dalam tradisi Eropa: maut adalah sosok yang membawa sabit panjang, dan dengan itulah kehidupan ditebang dan nyawa dibabat.
Kematian sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, dan cepat mencekik atau menebas leher—semua itu menunjukkan penolakan manusia atas ajal. Tapi penampikan yang percuma. Manusia akan senantiasa kalah. Di situ pula rasa murung merebak ke dalam pelbagai ekspresi—dalam bentuk doktrin agama, upacara persembahan dan korban, ukiran pagoda, lukisan gereja, doa di depan altar, kata-kata dalam mantra, kisah sastra, bahkan gambar dalam sinema.
Kita ingat film Ingmar Bergman yang dibuat pada tahun 1957 itu, Tera Ketujuh: kesatria Antonius Block pulang dari Yerusalem yang jauh setelah Perang Salib; di negeri Utara itu, ketika penduduk diserang wabah, ia bertemu dengan Maut. Ia menantangnya bermain catur; jika ia menang, hidupnya akan lepas dari akhir itu.
Tapi kita tahu apa yang kemudian terjadi. Yang menarik dari karya Bergman ini—dengan gambaran Maut yang diambilnya dari sebuah lukisan abad ke-15 di gereja di Täby, Swedia—adalah kehendak untuk membuat kematian merupakan negasi ganda: manusia dikalahkan olehnya, tapi juga manusia direnggutkan dari arti hidup.
Di sebuah gereja kecil Block membuat pengakuan di depan satu sosok berjubah: ”Aku berseru kepada Tuhan dalam gelap, tapi kadang-kadang seakan tak ada siapa pun di sana.”
”Bisa saja tak ada siapa pun di sana,” jawab sosok berjubah itu.
”Jika begitu, seluruh hidup hanya horor tanpa makna. Tak seorang pun dapat hidup dengan maut sebelum ia mati, jika ia merasa bahwa akhirnya ia hanya tak diacuhkan.”
Yang tak diketahui Block ialah bahwa si sosok berjubah adalah Sang Maut sendiri.
Bagi saya, Bergman melukiskan Maut sebagai sebuah kekuatan yang julig: dengan muslihat ia kabarkan betapa tak pastinya arti hidup, sebelum ia mengakhiri hidup itu. Memang dalam agama orang menemukan sebuah penangkal bagi gambaran yang merisaukan itu, tapi justru itu yang hendak digugat Bergman: dengan agama kita sebenarnya mencoba menutupi keraguan kita, benarkah ada Tuhan yang memberi makna, bukan hanya Tuhan yang berkuasa. Tera Ketujuh menandaskan rasa jeri kita.
Tapi di sini Bergman, sang atheis, akhirnya hanya mereproduksi bayangan umum yang dibawa agama Kristen sejak Abad Pertengahan: Maut memberat bagai kutukan. Bayangan itu tak universal. Di Bali, misalnya, upacara ngaben mengandung suasana kebersamaan yang meriah. Dengan kata lain, ada masyarakat yang menerima kematian dengan hati lebih ringan. Di Indonesia, kita menyebut orang mati dengan eufemisme: ”meninggal(kan) dunia”, sebagaimana orang Romawi dulu—menurut mereka yang mengetahui—memakai kata discessit e vita, ”ia telah meninggalkan kehidupan”.
Bahkan di Eropa yang Kristen pun orang tak selamanya mau menanggungkan kemuraman ala Bergman. Di sebuah kuburan di perbatasan Rumania dan Rusia, ada sebuah dusun yang punya tempat pemakaman yang unik: tiap kubur diberi nisan salib dari kayu yang digambari secara lucu satu corak penting hidup si mendiang.
Ada juga sebuah anekdot tentang Maharaja Maximilian I ketika ia berkunjung ke sebuah biara. Di sana dilihatnya sebuah lukisan yang menggambarkan Maut sebagai kerangka hidup—satu model yang lazim di Eropa, konon sejak benua itu ditimpa wabah besar. Maximilian tak berkenan. Dipanggilnya kepala biara untuk menyuruh ubah jerangkong itu dengan gambar badut.
Syahdan, sejak itu, gambar tentang Maut berubah. Agaknya dari sini pula terbit citra tentang maut yang menari-nari, danse macabre: yang mengerikan bertaut dengan yang grotesk dan kocak.
Dan kematian makin akrab. Bila kita dengan pilu mengalami serta menyaksikan beratus orang meninggal seketika pada hari-hari ini, mungkin kita bisa ingat, Maut tak pernah jauh. Ia bukan oposan, tapi bagian dari hidup yang juga bisa meriah. Bukankah sebelum Ada, sesungguhnya Ketiadaan?
~ Majalah Tempo, Edisi. 48/XXXV/22 – 28 Januari 2007 ~