Abangan
Pada suatu saat di abad ke-19, seorang sastrawan Jawa bertanya gelisah kepada dirinya sendiri: lebih berat ke manakah hatiku, ke Allah atau ke Ratu?
Untuk beberapa lama ia tak bisa menjawab. Tapi akhirnya ia, seperti tertulis dalam kitab Wedatama, menentukan sikap: dalam soal bot Allah apa gusti, kesetiaannya tertuju lebih kepada ia yang bertakhta di bumi. ”Allah” bukan pilihan pertama.
Kita sekarang akan menganggap pilihan itu kontroversial. Tapi sudah disebutkan, ini abad ke-19. Penulis puisi itu—konon ia Mangkunegara IV sendiri, yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881—menganggap yang dihadapinya bukan persoalan theologi atau filsafat, melainkan identitas sosial.
Alasannya sederhana: ia bukan keturunan khatib atau tokoh agama. Ia anak ”priayi”, lapisan pejabat kerajaan yang terpaut langsung atau tak langsung dengan aristokrasi. Sang penyair Wedatama tak merasa tergabung dalam kalangan kaum, sebutan untuk orang-orang yang penampilan dan pernyataan dirinya dibentuk idiom ”Islam”. Ia bukan ”santri”. Dengan keangkuhan yang setengah disembunyikan ia anggap ia akan ”nista” bila bergabung dengan kasta kaum yang di bawah itu. ”Yèn muriha dadi kaum temah nista….”
Dengan demikian, ”Allah” dilihat hanya sebagai salah satu pilihan. Ia dapat dibandingkan dengan Raja. Keduanya praktis sejajar. Bersamaan dengan itu, ”Allah” juga tak dianggap punya daya imbau yang universal.
Mungkin awalnya sebuah ketegangan. Membaca Wedatama saya mendapat kesan tentang sebuah masyarakat Jawa, khususnya di sekitar Surakarta, yang sedang merasa diri terbelah dan menanggung kerisauan identitas. Waktu itu dengan resah orang bertanya-tanya: apa yang berubah di masyarakat, siapa kita, siapa aku, siapa kami, siapa mereka? Adakah kami ”Jawa”, dan apa sebenarnya arti kata itu?
Jawab Wedatama: ”Jawa” adalah sikap yang memandang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, sebagai model. Bukan Muhammad SAW, nabi yang terlampau jauh untuk dijadikan tauladan:
lamun sira paksa nulad
tuladaning kangjeng nabi
o nggèr kadohan panjangkah
Menarik untuk menduga kenapa begitu bunyi petuah itu. Siapa pun dia, penulis Wedatama tampak terganggu betul oleh ekspresi yang agresif dan demonstratif atas nama ”Islam” pada masanya.. Dengan tajam ia menyebut mereka yang ”bengkrakan mring masdjid agung”, bertingkah pamer di masjid agung, para pemuda yang tak henti-hentinya mencela orang lain (nguwus-uwus) dengan cara kasar bak ”raksasa yang gemar menganiaya”. Puisi Jawa itu juga mencemooh mereka yang memamerkan kepintaran dengan syariat yang hebat-hebat (saringaté elok-elok), seakan-akan orang tergesa-gesa ingin menyaksikan ”cahaya Tuhan”.
Terhadap itu, Wedatama menawarkan sesuatu yang berbeda: tauladan Mataram adalah keheningan laku, bukan dalil yang gaduh dan angkuh. Para kesatria Jawa dulu, kata Wedatama, menganggap ”tahu” datang dari tindakan yang mirip pertapa: dari posisi yang tak hendak menguasai, mirip Gelassenheit Heidegger. Ia rela kehilangan, ia menerima bila hatinya dilukai, ia ikhlas dalam derita karena pasrah kepada Yang Maha Agung, legawa nelangsa srah ing Bathara. Sikap ini memandang Tuhan tak ada dalam amarah dan kecerewetan, melainkan dalam ketenteraman yang suci dan tersembunyi.
Di sini tampak, ”Jawa” dibayangkan sebagai sesuatu yang hampir sepenuhnya bertentangan dengan sebuah identitas sosial mereka yang terus-menerus sibuk dengan syariat (”anggung anggubel sarengat”). Maka terhadap fikih yang tegar Wedatama menegaskan sikap yang pragmatis. Terhadap lagak bersuci-suci ia mengakui—dengan nada yang sedikit mengejek diri sendiri—pentingnya martabat, harta, dan kepandaian (wirya, harta, winasis). Terhadap sikap yang mau mencontoh nabi nun di Arab abad ke-6, ia menasihati: ”karena kau Jawa, sedikit saja cukuplah”.
Antagonisme itu menunjukkan bahwa ”Islam” sebagai sebuah pengertian yang datang ke Jawa baru di abad ke-14 selamanya berbolong-bolong; selalu ada yang mrucut dari cakupannya. Ketika hubungan langsung orang di Jawa dengan Timur Tengah kian sering, seperti tampak sejak pertengahan abad ke-19 itu, dan semangat dakwah dan gerakan ”pemurnian” Islam meningkat, dorongan pun bertambah untuk menambal bolong itu. Berarti yang ”tak murni”, yang ”lain”, harus disumpal, ditiadakan.
Konflik pun berjangkit. Di situlah lahir dikotomi yang dicatat Clifford Geertz dalam The Religion of Java: abangan dan santri. Tidak, dikotomi itu bukanlah hakikat masyarakat Jawa: ia tumbuh dari pergulatan sosial pada suatu waktu, dari perebutan posisi, terkadang tegang, terkadang kendur.
Sejarawan M.C. Rickels menunjukkan hal itu dengan meyakinkan dalam sebuah buku yang bakal terbit, Polarising Javanese Society; Islamic and other visions, c. 1830-1930: abangan adalah pengertian yang baru dipakai orang pada pertengahan abad ke-19. Kata itu semula sebuah cemooh orang yang taat beribadat kepada mereka yang tidak.
Cap negatif itu lama-kelamaan bertransformasi, dan akhirnya diterima tanpa disesali. Apalagi bagi penulis Wedatama. Dari sikapnya tampak, baginya ”Islam” tak menampung, tapi menendang. Agama itu tak lagi menimbulkan daya tarik universal—dan Wedatama adalah sebuah komentar tentang kegagalan universalisasi itu. Buku puisi itu suara keinginan untuk bertahan, bertahan sebagai yang ”lain” yang tengah terdesak: jika Wedatama tak 100 persen menampik Islam, setidaknya ia ingin memilih sebuah ”Islam” yang ”Jawa”.
Tapi apa arti ”Jawa” sebenarnya? Seperti halnya tafsir tentang apa itu ”Islam”, ia pun dibentuk sejarah yang tak bebas dari ketegangan. Maka tak ada ”Jawa” yang kekal. Wedatama, sebagaimana suara para priayi, bukanlah kata akhir. Wacana tak mati-mati.
~ Majalah Tempo Edisi. 29/XXXV/11 – 17 September 2006 ~