Surat buat Siapa Saja
*Resensi Buku*
Goenawan Mohamad Selected Poems
Editor: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Kerja Sama dengan Yayasan Lontar, 2004
Tebal: xv + 150 halaman
Antropolog Clifford Geertz mengutip T.S. Eliot: “Penyair yang buruk meminjam, penyair yang baik mencuri.” Apa pun soalnya, meminjam atau mencuri selalu berhubungan dengan pengalihan, yaitu dengan translation. Maka pikiran dapat tersentak membaca kalimat pembuka “introduction“ Laksmi Pamuntjak: “Translation is a form of betrayal“—terjemahan adalah sebentuk pengkhianatan.
Tentu saja ini hanya metafor. Penerjemahan puisi—misalnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris sebagaimana yang dilakukan dalam kumpulan sajak yang dibahas ini—tidak pernah berarti menciptakan ekuivalen sajak itu dalam suatu bahasa lain. Sebuah terjemahan biasanya lebih jelek atau lebih baik dari yang asli, dan tak mungkin sama dalam segala sesuatunya dengan sajak yang asli. Kalau ide dapat dialihkan, mungkin liriknya yang tercecer; kalau liriknya dapat diselamatkan, barangkali daya evokatifnya yang terabaikan; dan kalau ini pun dikorbankan, barangkali muncul suatu versi yang serba prosais atau lahir orisinalitas baru yang cemerlang, sehingga sajak asli lebih berfungsi sebagai stimulus, tapi tidak lagi sepenuhnya menjadi bahan yang dialihkan ke dalam bahasa lain.
Istilah bahasa Indonesia “alih bahasa” sebagai sinonim untuk “menerjemahkan” memuat pengertian yang terlalu terbatas. Yang dialihkan dalam suatu terjemahan jelas bukan sekadar bahasa, tapi juga gagasan, suasana, gaya, sugesti, dan barangkali juga musikalitas bahasa.
Menerjemahkan sebuah buku teks sosiologi atau fisika adalah mengalihkan denotasi ke dalam suatu bahasa lain, yaitu konsep dengan batas-batas yang jelas. Sekalipun demikian, tingkat kedekatan konsep yang tercapai tak pernah sepenuhnya adekuat. Kesulitan seperti ini semakin meningkat dalam menerjemahkan sebuah sajak, yang secara hakiki selalu ditandai oleh ambivalensi. Seorang filosof mengatakan, a poem means all that it can mean—sebuah sajak mengandung arti sebanyak yang dapat dikandungnya. Ambivalensi puitis ini membawa dua konsekuensi, yaitu kesulitan dan sekaligus kemungkinan yang dapat menguntungkan. Menyulitkan, karena sebuah sajak tak pernah dapat menjanjikan dan tak mampu menyajikan suatu denotasi, yang dapat diidentifikasi dengan relatif pasti. Menguntungkan, karena dia memberikan ruang yang lapang bagi penerjemah untuk turut menciptakan makna yang mendekati kandungan sajak asli dan memperkuatnya, atau mengaburkan makna asli, atau bahkan menyelewengkan makna asli ke dalam makna baru yang belum terlihat dalam sajak asli.
Sajak panjang Pastoral dalam kumpulan ini yang diterjemahkan secara berhasil masih memperlihatkan kesulitan bagi pembaca dalam menghadapi terjemahan stanza XI, yang aslinya berbunyi: Barangkali memang ada sebuah kota,/ yang begitu jauh. Atau sebuah teluk/ yang begitu jauh/ Hmm…/ Apa arti sebuah ujung? Terjemahan Inggrisnya: Maybe indeed there is a city/ so faraway. Or a bay/ so faraway/ Hmm/ What is the meaning of an edge? Tema di sini adalah kejauhan kota dan kejauhan teluk. Kemudian muncul kalimat tanya: Apa arti sebuah ujung? Kata “ujung” dalam hubungan ini menunjuk titik-akhir dari suatu jarak longitudinal, yang justru hilang dalam terjemahan Inggris, What is the meaning of an edge, karena kata edge lebih menunjuk ujung dari suatu jarak lateral, seperti pada mata pisau atau tebing sebuah jurang. Maka, untuk menghadirkan jarak longitudinal yang ada dalam sajak asli, lebih sesuai menerjemahkannya menjadi What is the meaning of an end?
Atau simaklah sajak Mezbah yang diterjemahkan menjadi The Altar. Yang mengherankan, kata “mezbah” dalam larik pertama sajak itu kemudian tidak lagi diterjemahkan menjadi the altar seperti dalam judul, tapi menjadi the slaughterhouse yang berarti rumah jagal. Stanza pertama dalam sajak asli: Mezbah ini sebuah kota/ yang tak menyebut namanya/ seperti kamar mayat/ sementara. Terjemahan Inggrisnya: This slaughterhouse is a city/ that does not state its name/ like a makeshift/ morgue. Muncul pertanyaan: mengapa larik pertama itu tidak diterjemahkan saja menjadi “This altar is a city“? Slaughterhouse atau rumah jagal jelas bukanlah mezbah, biarpun kedua-duanya berhubungan dengan korban. Korban di atas mezbah adalah sesuatu yang direlakan dan dipersembahkan, suatu sacrifice (yaitu sesuatu yang berhubungan dengan sacrum atau the sacred), sedangkan korban di rumah jagal adalah sesuatu yang dipaksakan atau akibat kecelakaan dan menjadi suatu victim.
Tak jelasnya distingsi di antara dua pengertian “korban” ini barangkali membuat terjemahan stanza ketiga lebih menjauhi daripada mendekati makna sajak asli. Dalam bentuk aslinya, stanza itu berbunyi: Malam pun menemui kurban/ di hamparan. Cahaya warna kusta/ dan plaza jadi dingin ketika Ajal/ memandang. Stanza ini didahului oleh dua larik sebelumnya: Kita berkabung/ maka kita ada. Hubungan-hubungan teks di sana menunjuk deprivasi di satu pihak, dan suasana predatoris di pihak lainnya: cahaya berwarna kusta, plaza yang jadi dingin, dan ajal yang memandang.
Larik-larik Kita berkabung/ maka kita ada diterjemahkan dengan bagus dan berhasil mempertahankan permainan logika Cartesian: We mourn/ therefore we are (yang dalam Latinnya akan berbunyi: Doleo, ergo sum, sebagai variasi dari Cogito, ergo sum). Tapi stanza ketiga diterjemahkan menjadi: The night finds its sacrifice/ on the city spread. Light is the color of cyst/ and the plaza turns cold, when the End/ gazes. Suasana muram dan mengancam yang ditandai oleh deprivasi lebih mungkin melahirkan victim, yaitu korban yang dipaksakan, daripada sacrifice sebagai korban yang direlakan atau dipersembahkan. Bahwa di atas mezbah dipersembahkan suatu victim dan bukan sacrifice, itu dapat ditafsirkan sebagai oxymoron yang memang disengaja penyair ini untuk mencapai efek yang lebih kuat melalui metaphorical twist and turn. Lagi pula kalimat cahaya warna kusta jelas tidak dapat diterjemahkan menjadi light is the color of cyst karena kata cyst berarti kista dan bukan kusta, yang dalam bahasa Inggris disebut leprosy. Jadi, sebagai alternatif, dengan pertimbangan-pertimbangan ini, stanza tersebut dapat diterjemahkan menjadi: The night finds its victim/ on the city spread. Light is the color of leprosy/ and the plaza turns cold, when the End / gazes.
Beberapa contoh ini menunjukkan bahwa sebuah dalil klasik yang dianut dalam penerjemahan mungkin masih berguna untuk menjadi pegangan, yaitu asas bahwa kita sebaiknya menerjemahkan sedekat mungkin dengan teks asli dan memakai kebebasan hanya seperlunya (as close as possible, as free as necessary). De facto, beberapa terjemahan yang amat berhasil dalam kumpulan ini, kebetulan atau tidak, telah menerapkan asas tersebut. Terjemahan yang berhasil dengan baik, relatif dekat sekali dengan sajak aslinya, misalnya Kwatrin tentang Sebuah Poci (Quatrain About a Pot), Lagu Obo (Song of the Oboe), Potret Taman untuk Allen Ginsberg (Picture of a City Park for Allen Ginsberg), Hiroshima Cintaku (Hiroshima, mon Amour), Cambridge (Cambridge), Cikini (Cikini Street), dan Di Elsinore (In Elsinore).
Pertanyaan umum yang perlu dijawab ialah apakah kumpulan ini dengan kualitas penerjemahan yang ada dapat menghadirkan dan memperkenalkan kepenyairan Goenawan Mohamad kepada para pembaca berbahasa Inggris. Apakah 47 sajak yang ada dalam kumpulan ini (bukan 50 sajak sebagaimana dikatakan dalam introduction) dapat menjadi representasi dari 132 sajak yang pernah dihasilkan oleh penyair ini dan yang telah terbit dalam Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001? Juga apakah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris dapat membuat pembaca berbahasa Inggris menikmati sajak-sajak ini atas cara yang mendekati tingkat intensitas yang dialaminya seandainya dia dapat membaca sajak-sajak ini dalam bentuk aslinya?
Kalau dilihat dari pilihan berdasarkan tahun penciptaan sajak-sajak ini, hampir tiap dasawarsa terwakili. Ada sajak dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. Kalau dilihat berdasarkan tema-temanya, sajak-sajak yang bersifat “sosial” yang berasal dari masa-masa interaksi yang ketat dengan kalangan Lekra belum terwakili dalam kumpulan ini. Sajak seperti Surat-Surat tentang Lapar, Catatan-Catatan Jakarta, Lagu Pekerja Malam, dan Gerbong-Gerbong Senja sebaiknya juga dimuat dalam kumpulan seperti ini, untuk melihat sisi lain dari penyair ini.
Dengan segala keterbatasannya, setiap terjemahan selalu merupakan input penting untuk kebudayaan. Barangkali semua kita melakukan penerjemahan lebih banyak daripada yang kita sadari. Kritikus yang mencoba menguraikan sebuah puisi sudah menerjemahkan puisi ke dalam bentuk prosa. Dan berapa banyak penyair kita telah menerjemahkan tema dan artikulasi Chairil Anwar ke dalam sajak-sajak mereka? Penyair dan penyair memang saling menerjemahkan. Buku lahir dari buku dan sajak lahir dari sajak. Untuk mengambil dua contoh, apakah Amir Hamzah pernah “menerjemahkan” Lord Tennyson? Apakah Goenawan Mohamad pernah “menerjemahkan” Emily Dickinson? Dua larik yang terkenal dari sajak Amir Hamzah Padamu Jua: lalu waktu – bukan giliranku/ mati hari – bukan kawanku, amatlah dekat dengan dua larik terakhir sajak Lord Tennyson berjudul Break, Break, Break: But the tender grace of a day that is dead/ will never come back to me. Demikian pula sebuah kuplet sajak Goenawan berjudul Surat Cinta: Bukankah surat cinta ini ditulis/ ditulis ke arah siapa saja/ seperti hujan yang jatuh rimis/ menyentuh arah siapa saja, sangat dekat dengan sebuah kuplet sajak Emily Dickinson: This is my letter to the world/ that never wrote to me/ the simple news that nature told/ with tender majesty.
Setiap terjemahan adalah surat yang ditulis ke arah siapa saja dan menyentuh arah siapa saja.
Ignas Kleden, pembaca sastra
~ Majalah Tempo, Edisi. 25/XXXIII/16 – 22 Agustus 2004 ~