Pada Mulanya Adalah Kertas-Kertas Minyak
1
Pada mulanya adalah kertas-kertas minyak. Pada suatu hari di tahun 1947, penghuni kampung di tepi kota itu merekat-rekatnya jadi bendera, merah-putih kecil, yang dilem pada bilah bambu. Mereka memasangnya di pintu-pintu rumah. Beberapa jam kemudian seregu tentara pendudukan melewati kampung itu. Insiden terjadi. Letnan Belanda itu menyuruh semua bendera dicopot. Tak ada yang melawan. Tapi prajurit-prajurit itu berkeras. Seseorang disuruh menelan merah putih kertas minyak itu, dan dengan rasa takut menurut….
Kemerdekaan dimulai dengan hal kecil yang tak boleh dilakukan, dan hal kecil itu jadi perkara yang amat penting. Hal kecil, masalah besar: mungkin tak ada ukuran terhadap sesuatu yang ditiadakan dari sebuah ruang dalam diri kita yang paling dalam, paling privat, di mana kekuasaan dan kekuatan apa pun tak akan mampu menyentuh—meskipun kita ketakutan.
Kemerdekaan hadir sepenuhnya ketika ketakutan itu tak ada.
2
”Adapun kemerdekaan adalah hak semua bangsa…”. Penghuni kampung itu bagian dari sebuah bangsa, dan prajurit-prajurit Belanda itu bagian dari sebuah bangsa lain. Di tahun 1940-an, ”bangsa” jadi sesuatu yang sentral dalam percakapan tentang kemerdekaan.
Kini, di tahun 2000, saya lebih teringat akan orang itu, yang harus menelan bendera kertas minyak dengan wajah ketakutan. Ia mungkin mewakili sebuah bangsa. Tapi saat itu—seperti setiap orang yang terteror—ia sendiri.
Kemerdekaan atau ketidak-merdekaan pada akhirnya adalah ada atau tidaknya ruang dalam diri seorang yang berdiri sendiri dengan lutut gemetar dan harus menelan benda yang tak dimaksudkan untuk ditelan.
17 Agustus 2000. Kita masih dengan terharu memandang merah-putih dikibarkan, di sini atau di mana saja, dan “bangsa” barangkali tetap merupakan sebuah premis yang penting, tetapi tak lagi absolut. Nasionalisme mulai mempertanyakan dirinya sendiri ketika kita tak bisa lagi dengan yakin dan meyakinkan mengatakan, seperti Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1955, bahwa pembangunan memerlukan ‘‘satu syarat mutlak: Negara dan sekali lagi Negara“.
Sebab apabila ”bangsa” dan ”Negara” jadi syarat mutlak, jadi premis yang absolut, satuan-satuan besar yang lahir dari pengertian yang abstrak pada gilirannya akan menyingkirkan satuan yang paling renik: sebuah ruang dalam diri kita yang paling dalam, paling privat, di mana kekuasaan dan kekuatan apa pun tak akan mampu menyentuh—meskipun kita ketakutan.
3
Kalau tak salah Nietzsche pernah menyebut Negara sebagai ”monster yang paling dingin”. Segala hal yang dibangun dari abstraksi dan tumbuh sebagai kekuasaan akhirnya jadi monster yang paling dingin. Kemerdekaan mencoba melawan mereka, tiap kali, karena tak seorang pun ingin ketakutan, dan tak seorang pun boleh dibiarkan ketakutan.
Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan berpendapat, sebenarnya kita berbicara tentang keniscayaan untuk mengelak dari lindasan monster yang seperti itu: premis-premis yang mutlak. Kita ingin merayakan sisa, tempat yang masih memberikan kemungkinan lain, tempat yang masih membiarkan tanda tanya tetap hidup dan kerendahan hati memegang peran.
Mungkin sebab itu ketika di atas planet yang di sudut jauh alam semesta ini ada kekuasaan yang tak hendak memberi sisa apa pun di luar cengkeramnya, perlawanan pun terjadi. Monster itu jadi sesuatu yang garang dan sekaligus sia-sia.
Kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus. Yang mengherankan ialah selamanya ada saat-saat dalam sejarah manusia ketika ketulusan hendak dibangun seraya meniadakan kemerdekaan. Dan ini terjadi terutama dalam hal iman dan keyakinan.
4
Dalam The Battle for God, Karen Armstrong menceritakan sedikit satu episode sejarah Spanyol. Di antara tahun 1420-98 hidup Tomás de Torquemeda dan ia jadi Sang Inkuisitor Agung. Kerajaan yang menjadikan agama Katolik sebagai penyangga itu, bersama de Torquemeda, hendak membersihkan Spanyol dari sisa-sisa agama Yahudi, setelah penyingkiran besar-besaran di tahun 1492.
Para penganut Yudaisme terpaksa mengganti iman mereka dan jadi kaum ”Marranos”. Tapi tak mudah. Begitu mereka dibaptiskan, mereka tak henti-hentinya diawasi. Mereka diharapkan punya iman yang tulus. Bila mereka kedapatan menyalakan kandil di malam Sabtu, atau menolak makan udang, mereka bisa dipenjarakan, atau disiksa, atau dihukum mati, atau milik mereka disita.
Kerajaan Spanyol dan rezim Inkuisisi di bawah de Torquemeda menghukum—termasuk membakar hidup-hidup—siapa saja yang dituduh menyeleweng dari syariat. Yang tumbuh kemudian adalah kaum Marranos yang tetap menjalankan keyakinan mereka secara rahasia. Yang juga tumbuh adalah pendirian yang menampik Tuhan dan agama: suara protes atas kesewenang-wenangan yang dilakukan atas nama Tuhan dan iman.
Ketika kemerdekaan dicoba dihilangkan, yang tulus bukanlah yang mengikuti aturan. Yang tulus adalah yang menangkis aturan. Fernando de Royas adalah seorang keturunan Yahudi yang masuk Kristen. Ia merasakan sendiri bagaimana gerak-gerik hidupnya dipantau. Pada akhirnya, dalam karya romannya, La Celestina, ia mengatakan sesuatu yang ia yakini: bahwa Tuhan tak ada, bahwa yang ada hanya kasih, dan ketika kasih itu mati, dunia tinggal jadi tanah puso, ”labirin kesalahan, padang pasir yang menakutkan, sebuah gua binatang buas, sebuah permainan tempat manusia bergerak dalam putaran….
Apa akhirnya yang diperoleh oleh kekuasaan agama dari ikhtiar mengusut keimanan seseorang?
5
Di abad ke-20 salah satu sisa bentuk Inkuisisi terjadi di Mesir. Ini riwayat Nasr Abu Zaid.
Abu Zaid memulai karirnya sebagai asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab, di Fakultas Sastra Universitas Kairo, setelah ia lulus tahun 1972. Komisi dalam jurusannya menyuruhnya untuk mengambil ”telaah Islam” buat penelitiannya untuk gelar master dan doktor.
Abu Zaid pun berangkat. Ia menelaah pelbagai metode tafsir Quran dalam sejarah. Ia mulai menggunakan konsep ”metafora” yang diperkenalkan oleh kaum Mu’tazillah. Tesis untuk gelar master ini kemudian diterbitkan di Beirut pertama kali tahun 1982. Dari sini Abu Zaid berangkat lagi menelaah hermeneutika Quran sebagaimana dikerjakan oleh Ibn Arabi, sufi besar dari Andalusia itu. Itulah tesis doktornya. Tapi lebih penting lagi kemudian kesimpulan yang didapatnya dari pelbagai penelaahan itu: tak ada teks yang terlepas dari konteks sejarah. Juga Quran dan tafsirnya. Tak berarti bahwa Quran berasal dari manusia, melainkan kenyataan bahwa wahyu itu diturunkan di suatu masa dan suatu tempat menyebabkannya jadi teks yang historis. Tafsirnya pun merupakan cerminan dari wacana agama dan politik di suatu masa, dengan pelbagai benturan tujuan sosial-politik yang terjadi.
Karena semua itu Abu Zaid bukan saja ditolak oleh Universitas Kairo untuk jadi guru besar penuh. Tak hanya itu. Di sebuah hari Jumat di awal April 1993, seorang anggota civitas academica yang lain, Abd el-Sabour Shahin, menyerang pendapatnya di mimbar sebuah masjid di Kairo Pusat, dan menyatakan bahwa Abu Zaid telah murtad dari agama. Dengan segera masjid seluruh Mesir mengikuti kampanye ini.
Ujung dari riwayat Abu Zaid adalah sejenis tragedi tapi juga sejenis lelucon. Seorang khatib membawa perkara ini lebih jauh ke Pengadilan Keluarga: ia mengadu bahwa pernikahan Abu Zaid dengan Ebtehal Yunes, yang mengajar peradaban Prancis di Universitas Kairo, tak sah lagi. Alasan: menurut hukum agama, dilarang perempuan menikah dengan seorang murtad. Tujuan dari semua itu adalah untuk membuat status Abu Zaid sebagai seorang murtad diresmikan oleh Negara.
Kampanye pun dikibarkan, bahkan dengan sebuah tuntutan legal: karena ia murtad, Abu Zaid harus dihukum mati. Di peradilan tingkat pertama hakim menampik tuntutan ini. Di peradilan banding, Abu Zaid kalah. Ia dikukuhkan sebagai seorang murtad dan pernikahannya dibatalkan. Satu-satunya cara yang tersisa hanya ke peradilan banding terakhir. Atau meninggalkan Mesir.
Abu Zaid dan istrinya tak berpisah, sebagaimana ia tak merasa dirinya murtad. Mereka hidup di Leiden, tak lagi bagian dari sebuah satuan-satuan besar yang lahir dari pengertian abstrak, misalnya ”umat”.
6
Dalam salah satu bagian novel Dostoyewski yang terkenal, Karamazov Bersaudara, ada satu cerita fantasi: Yesus datang kembali ke Spanyol ketika rezim Inkuisisi mengusut kehidupan beragama setiap orang dan menghukum siapa saja bila tampak menyeleweng dari jalan yang benar. Hampir tiap hari ada orang yang dibakar hidup-hidup. Yesus bersedih. Tetapi Sang Inkuisitor Agung malah menangkap Juru Selamat itu dan memberi argumen: ingatlah, manusia pada dasarnya tak bisa diberi kepercayaan untuk merdeka dan memilih jalannya sendiri.
Tetapi sejauh mana sebenarnya para pembesar agama bisa mengubah manusia—seraya mengabaikan kemerdekaan? Di awal tahun 1542 Calvin menguasai dan mengatur Jenewa sebagai sebuah ”negara Kristen”, dengan Alkitab sebagai sumber hukum dan para pendeta sebagai penafsirnya. Selama 25 tahun eksperimen ini berjalan. Tetapi kini, apa sisanya? Jenewa jadi sebuah kota di mana bank-bank beroperasi, memungut bunga juga dari uang simpanan yang mungkin saja tak halal. Dan di tahun 2000 ini kita semakin tahu: nama Tuhan tak bisa dipergunakan terus-menerus untuk memberi tera kepada kekuasaan manusia. Tiap premis yang mutlak pada akhirnya dibatalkan. Ada selalu yang akan mencari sebuah tempat yang masih membiarkan tanda tanya tetap hidup dan kerendahan hati memegang peran.
Juga orang yang sendirian, yang berdiri dalam ketakutan. Ia diancam agar mau menelan bendera atau apa saja. Tapi bisakah sebenarnya ia dikalahkan? Dalam dirinya mungkin saja tetap terpasang merah putih dari sisa kertas minyak. Sementara serdadu Belanda itu tak bisa datang lagi.
Majalah Tempo Edisi. 24/XXIX/14 – 20 Agustus 2000