Hikayat abdullah
AGUSTUS adalah bulan Asia Tenggara, dan kita layak mengenang seorang yang lahir di Malaka, jadi termasyhur sejak di Singapura, dan dikenal sehagai salah seorang pelopor sampai ke Indonesia. Orang itu adalah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Kita tahu, orang ini, satu setengah abad yang lalu, menuliskan Hikayat Abdullah. Tapi karya ini bukan otobiografi biasa. Hikayat Abdullah, yang rampung ditulis pertengahan 1840-an, bukan cuma sebuah soal kesusastraan.
A.H. Hill, yang menerjemahkan karya besar Abdullah bin Abdulkadir itu ke dalam bahasa Inggris sekitar 30 tahun yang silam, menegaskan bahwa Abdullah-lah orang pertama yang memperkenalkan realisme ke dalam penulisan Melayu. Pelbagai kejadian, dalam Hikayat Abdullah, tampil sebagai kejadian faktual. Buku itu bukan rangkaian dongeng.
Dalam hal itu Ahdullah memang bisa disebut sebagai reporter pertama. Ketika api memusnahkah Market Street, di selatan Sungai Singapura, di Hari Raya Tmlek 1830, rumah Abdullah juga ikut terbakar. Tapi yang dilakukan Abdullah ialah lari ke sana
kemari, dengan pensil dan kertas di tangan, mencacat apa saja yang disaksikan.
Tentu saja, waktu itu, ia tak tahu buat apa catatan itu. Tapi agaknya bukan soal kegunaan yang mendorong orang seperti ini: Abdullah hanya menginginkan kebenaran sebagai sesuatu yang didukung pengalaman empiris. Dan itu berarti mengecek pelbagai hal dengan kesaksian “mata dan kepala” sendiri.
Itu pula yang mendorongnya menempuh sebuah perjalanan yang berbahaya, menyamar sebagai pengemis, memasuki tempat pertemuan serikat Thian Tai Huey. Ia pernah mendengar desas-desus tentang organisasi gelap ini, yang mengerahkan pelbagai perampokan ke wilayah-wilayah permukiman di Singapura. Dan benar: di sebuah hutan di pedalaman, ia menyaksikan sendiri — dengan risiko terhunuh — bagaimana serikat rahasia ini menyumpah para anggotanya yang baru dan menyiksa mereka yang menentang. Abdullah kemudian melaporkan kesaksiannya ke Residen Crawfurd. Tapi motifnya bukanlah untuk jadi mata-mata. Motifnya hanya sebuah rasa ingin tahu.
Antara lain berkat itulah ia tak tumbuh dalam tempurung purbasangka — atau hentuk purbasangka yang lain: takhayul. Dengan setengah ketakutan, misalnya, ia mencoha pengobatan cara Barat: ia membiarkan diri dioperasi oleh seorang dokter Pasukan India, yang kebetulan singgah di Singapura. Abdullah, dalam hidupnya, memang sempat menyaksikan sendiri pelbagai kejutan teknologi dari Barat: kamera, kapal pengukur dalamnya laut, kapal api.
Tak heran bila ia kemudian menampilkan diri sebagai seorang “modernis”, dalam bentuknya yang paling awal. Ia menangkis kecenderungan orang-orang Melayu untuk hanya berpegang kepada apa yang diketahui nenek moyang mereka. Sebaliknya, ia juga
dikecam: “akalnya menerima cara orang putih,” kata orang. Bahkan ayahnya melarangnya belajar berbahasa Inggris. Kemudian, Abdullah melanggar larangan itu. Dan tak cuma itu ia juga membantu kaum misionaris menerjemahkan Injil.
Yang menakjubkan ialah, bahwa dalam Hikayat Abdullah, tak tampak ada pergolakan batin yang gemuruh dan menguncangkan, sebelum tersusunnya sikap seperti itu. Padahal, Abdullah dibesarkan, dan kemudian dikenal dan akhirnya meninggal, sebagai wakil dari tradisi yang bukan Barat. Hari-hari masa kanaknya diisi dengan inspeksi yang ketat dari ayahnya, pembacaan quran, dan pemahaman bahasa Arab. Hikayat Abdullah sendiri, terutama dalam mengecam peri laku raja-raja Melayu, menggunakan referensi Islam. Di sana-sini Abdullah juga menyelipkan pantun, petuah, peribahasa. Dan sang pengarang, yang digelari munsy (guru bahasa) pada usia muda, oleh para tentara India Muslim yang
diajarinya soal agama, di ujung hayatnya berada di Jeddah, dalam perjalanan haji.
Barangkali memang Abdullah adalah tanda pertama zaman ini: ketika pengaruh asing hisa bergabung dengan pegangan yang dibawa dari rumah, dalam suatu proses yang tak saling menyobek. Abdullah sendiri, yang penuh semangat untuk bahasa Melayu, lahir dari ayah Arab dan ibu Tamil — suatu indikator Asia Tenggara yang baru, di mana asal-usul ras tak menentukan kesetiaan kepada budaya setempat.
Dan ia juga sebuah petunjuk lain abad ke-20, ketika ia memuji cara Lord Minto dan penguasa Inggris memperlakukan para hukuman dan ketika ia mengecam sikap sewenang-wenang para Sultan. Kini memang ada yang menganggap Abdullah terlampau silau kepada para penjajah putih. Ia tampaknya memang ia tak ikut merasakan kebencian orang setempat kepada bangsa asing itu. Toh apa yang dipuji Hikayat Ablullah bukanlah hal-hal yang tak bisa kita puji.
~ Majalah Tempo Edisi. 23/XIIIIII/02 – 8 Agustus 1986 ~