Kanvas
Senin, 01 November 2010
Di Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Telanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi halus. Paras dengan raut yang tanpa cela.…
Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan seleranya, selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10 tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih menghormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tampak dirawat.
Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Zaman berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konservatif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu tertawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat karya-karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu mengalahkan dirinya sendiri.
Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”indah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa yang tak cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang harus dilenyapkan.
Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap keindahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indonesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-petani yang tenteram.
Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19. Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para penelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut nama seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang hidup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan” dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunani yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pelukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).
Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann (1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pasaran seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan pengusaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu.
Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di masa silam. Bung Karno menggemari Dezentjé, sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan—apalagi kekacauan. Juga sebagaimana ia menggemari karya Basuki Abdullah.
Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebutkan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah. Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”artistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus. Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban, dan berjuang terus-menerus”.
Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang siap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kanvas yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena terkendali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang” mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan, karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan.
Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Dalam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak menyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejutkan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang grotesque, mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan itulah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—tidak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: kesediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan ditolak.
Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-patung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak.
Goenawan Mohamad