Sepatu Tua
Victor yang baik,
Percik darah saya yang pertama
Di bumi ini tumpahnya
Rendra menulis Sajak-Sajak Sepatu Tua: jika ada hubungan yang intim dan mendasar antara seseorang dan sepetak tanah—dan hubungan itu tumbuh jadi puisi—kita menyaksikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kapitalisme.
Kapitalisme akan mengubah petak tanah itu jadi ruang yang bisa dipertukarkan. Setelah itu, atau berbareng dengan itu, dikonsumsi. Konsumsi adalah laku menghabisi. Si petak tanah mengalami proses seperti nasi tumpeng: ia mempunyai sesuatu yang indah ditata dan diberi makna simbolik, tapi setelah itu akan berubah jadi santapan, benda yang siap dikunyah dan ditelan. Mengkonsumsi adalah membikin ludes.
Sepatu tua yang menemani kakiku bertahun-tahun, yang begitu kenal dengan raut telapak dan jariku, yang merupakan bagian pengalaman hidupku, oleh kapitalisme akan dianggap sebagai sesuatu yang mendekati habis. Kata ”tua” akan menjadi sama dengan ”bekas”: sepasang sepatu yang aus, perlu dibuang, dan harus diganti dengan yang baru.
Dalam arti tertentu, kapitalisme memisahkan hampir segala hal. Dengan memberi harga, kekuatan modal dan pasar bisa membelah sepetak tanah dan sepasang sepatu ke dalam nilai guna dan nilai tukar, memisahkan apresiasi dari konsumsi, memisahkan yang kreatif dari yang produktif, memisahkan penghayatan dari sukses—dan kemudian menindas yang disebut pertama. Sepatu itu tidak lagi bagian dari hidupku; ia dilepaskan dari sejarah tubuh dan kenanganku. Ia, sebagai bekas, akan jadi benda yang tak perlu disimpan. Ia hanya elemen dalam perputaran perdagangan, termasuk perdagangan di pasar loak.
Pemisahan seperti itu yang menyebabkan sebuah komoditi jadi semacam hewan korban. Dipisahkan dari statusnya sebagai sesuatu yang unik, yang singular, ia bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang datang dari yang tak tampak. Dalam agama, ia disebut ”rahmat Tuhan”; dalam kapitalisme ia disebut ”harga” yang ditentukan oleh ”tangan yang tak terlihat”.
Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu karyanya yang diterbitkan setelah ia meninggal, melihat kapitalisme sebagai agama. Yang dikatakan Agamben dalam Profanations (Zone Books, 2007) tentang perkara ini membuat saya memikirkan kembali satu segi agama dan kapitalisme yang dapat membuat mereka bergandengan—gejala yang kini tampak di mana-mana.
Agama, dalam arti yang dikenal di bahasa Barat, bukan berasal dari kata religare, sesuatu yang mengikat dan menyatukan yang insani dengan yang ilahi. Menurut Agamben, asal kata religio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap penuh hati-hati dan cermat yang harus kita miliki ketika berhubungan dengan para dewa. Harus ada kekhusyukan yang waspada di depan bentuk dan formula, yang harus ditaati ketika kita memisahkan mana yang sakral dan mana yang profan. Religio bukan menyatukan manusia dan dewa, melainkan meneguhkan bahwa masing-masing terpisah jelas.
Sebab itu, kata Agamben, yang menentang agama bukanlah sikap tak beriman kepada yang ilahi, melainkan sikap abai, atau perilaku yang bebas dan tak terpaku oleh pemisahan itu. Melakukan sesuatu yang profan, kata Agamben, berarti membuka kemungkinan untuk sikap yang acuh tak acuh, atau lalai terhadap pemisahan antara yang sakral dan yang tidak.
Namun saya kira ada yang dilupakan Agamben: apa yang terjadi setelah pemisahan. Seperti saya sebut di atas tentang pemisahan yang terjadi oleh kapitalisme, ada penindasan yang satu oleh yang lain. Demikianlah nilai guna ditindas oleh nilai tukar, dorongan kreatif didesak oleh dorongan produktif, apresiasi atas satu barang ditenggelamkan oleh konsumsi yang membuat barang itu ludes dan terbuang.
Dalam agama, perpisahan antara yang insani dari yang ilahi akhirnya juga dicoba dilenyapkan ketika kehidupan yang profan dicengkeram oleh gairah untuk membuat semuanya jadi wilayah Tuhan, ketika ”kota manusia” hendak dilindas oleh ”kota Tuhan”.
Itu sebabnya para dewa atau Tuhan ”cemburu”, dalam pengertian Perjanjian Lama dan sajak Amir Hamzah, ketika manusia abai. Atau ketika ia lebih akrab dengan sebuah benda, atau sepetak tanah dan segala yang dianggap tak layak menyaingi-Nya. Seperti halnya kapitalisme tak akan dengan mudah membiarkan benda-benda tak dipertukarkan, bebas lepas dari harga, uang, dan proses komodifikasi.
Tapi akan menyerahkah manusia? Mungkin ya—tapi tak selamanya. Terutama jika ia menemukan cara membebaskan hal ihwal melalui apresiasi yang tanpa perhitungan—lewat permainan, misalnya, atau lewat puisi, dan keakraban dengan pengalaman yang datang dari hidup. Dengan kiasan Rendra, lewat sajak-sajak sepatu tua: sesuatu yang tak kekal, tetapi lebih berarti ketimbang mati, sesuatu yang tak berguna dan bisa dibuang, tetapi tak akan bisa dicampakkan. Sesuatu yang bisa bertahan dari keangkeran agama yang merengkuh ke mana-mana dan mampu mengelakkan desakan kekuatan yang disebut pasar yang menjerat apa saja. Suatu sikap abai, tapi bisa mengembalikan apa yang bermakna.
~ Majalah Tempo Edisi. 36/XXXVI/29 Oktober – 04 November 2007 ~