Turki
MUSTAFA lahir di tahun 1881 dari kandungan seorang ibu yang saleh, Zubaidah namanya. Perempuan ini kuat wataknya; ia tak mudah menyerah kepada kehendak sang suami. Khususnya dalam hal pendidikan buat anak lelaki mereka satu-satunya—seorang anak yang tak mereka sangka kelak akan dikenang dengan kagum sebagai Atatürk, ”bapak Turki [modern]”, tapi juga dikutuk keras sebagai penghancur Khilafah Usmani, sebuah imperium yang dianggap sanggup menyatukan bangsa-bangsa muslim selama beradab-abad.
Mustafa Kemal memang lahir di sebuah zaman ketika pertentangan tak terelakkan, bahkan sejak hari ia harus bersekolah.
Ali Riza, sang ayah, ingin agar Mustafa masuk sekolah umum. Tapi Zubaidah tetap bersikeras. Si buyung harus hafal Quran; ia harus jadi hoja, guru agama.
Mustafa pun dikirim masuk sekolah Fatimah Mullah Kadin, pendidikan Islam yang terkemuka di Kota Salonika itu. Diterima di sekolah itu agaknya sesuatu yang istimewa. Dalam buku Atatürk: The Rebirth of a Nation, Patrick Kinross mengutip penuturan Mustafa sendiri tentang upacara di hari pertama itu.
Di pagi hari, ibunya mendandaninya dengan pakaian putih dan kalung leher bersulam emas; sorban melingkar di kepala. Ia pun dijemput seorang hoja beserta ulama lain. Mereka melangkah ke jalan dalam semacam prosesi ke sekolah. Di sekolah yang bertaut dengan sebuah masjid itu, doa bersama pun dibacakan. Lalu sang guru membimbing Mustafa masuk ke sebuah ruang. Di sana sebuah Quran sudah siap terbuka.
Tapi ia tak lama bersekolah di situ. Ia membangkang karena disuruh duduk bersila di lantai. Ia benci membaca dan menulis huruf Arab. Ia gelisah.
Akhirnya ayahnya memindahkan Mustafa ke sekolah umum yang diasuh Shemsi Effendi. Di situ si buyung bersemangat. Kali ini Zubaidah tak berkeberatan.
Zubaidah memang berubah, seperti Turki. Salonika, sebuah kota perdagangan di Macedonia, bertaut dengan dunia luar tiap hari. Kota pelabuhan di teluk itu beragam penduduknya: Yahudi (meskipun sebagian telah jadi muslim), Bulgaria, dan Armenia. Ada konsulat Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal.
Ketika Mustafa berumur belasan tahun, kereta api buat pertama kalinya masuk ke kota itu. Dalam bukunya, Kinross mengutip kenang-kenangan seorang penghuni: ”Abad [ke-19] ini sedang mendekati akhir. Dengan diam-diam dunia Barat merayap masuk, mencoba memikat Timur dengan keajaibannya…. Dipamerkannya di depan mata kami sihir ilmu pengetahuan dan mukjizat temuan dan ciptaannya. Kami menangkap selintas kecemerlangannya dan dengan malu-malu mendengarkan nyanyian merdu dewi lautnya. Ibarat orang dusun yang ikut dalam sebuah jamuan besar, kami merasa rendah diri dan tingkah kami kikuk….”
Dari sini kita tahu, bukan Mustafa Kemal yang mengubah Turki, tapi Turki memang tak bisa seperti dulu lagi. Seperti kereta api yang mendengus dan berderak masuk ke Salonika, abad baru—dengan segala godaan dan kerisauannya—tak dapat dielakkan siapa pun.
Syahdan, anak yang pernah didandani sorban itu kini lebih tertarik kepada pakaian yang lain: seragam yang dikenakan dengan bergas oleh para prajurit. Ia ikut ujian masuk sekolah menengah militer. Ia lulus. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai seorang perwira yang tangguh, cerdas, dan bisa menggerakkan pasukannya yang terpojok hingga menang. Pertempuran tentara Turki yang dipimpinnya melawan pasukan Inggris dan sekutunya di jazirah Gallipoli di tahun 1915 adalah sejarah kemenangan Turki yang tak terlupakan.
Tapi Kemal sadar, kemenangan itu tak akan selamanya di pihak Turki. Ia tahu ada yang hilang di ”imperium Usmani”: di wilayahnya yang terbentang luas, pelbagai negeri, termasuk Tanah Arab, mulai resah di bawah titah Istanbul. Pada saat yang sama, kekhalifahan kian merosot—sebuah proses yang telah mulai sejak hari-hari akhir Sulaiman yang Agung, setelah baginda jadi murung karena terpaksa membunuh putra-putranya sendiri yang mencoba merebut takhta. Berangsur-angsur, Khilafah Usmani jadi kekuatan yang gombyor dan lembek.
Abad ke-20 adalah abad yang kian mengingatkan bahwa mustahil ada kekuasaan yang dapat selamanya kencang dan mampu sepenuhnya mengisi ruang kehidupan—apalagi mengisinya dengan kepastian. Bahkan agama tak dapat dipakai untuk menopang takhta dan kepastiannya. Sejarah dinasti Usmani menunjukkan, pada akhirnya tafsir tentang ”Islam” masa itu dikaitkan dengan ”Islam” para sultan yang hidup antara seraglio yang penuh perempuan simpanan dan medan perang yang penuh dengan bangkai.
Ketika wibawa mereka runtuh, guyah pula wibawa ”Islam”. Akhirnya manusia, apalagi Kemal, tak bisa lagi berharap banyak dari mereka yang mengklaim punya satu hal yang bisa menjawab semua hal. Orang makin sadar, demokrasi diperlukan.
Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan pentingnya nol: dalam keadaan tak berisi, terkandung sebuah awal ikhtiar untuk memberi isi; tapi dengan nol, manusia menampik ketakaburan.
Saya kira Kemal, dalam keresahan dan ketidaksabarannya, dalam semangat dan keterbatasannya, akhirnya menyadari hal itu: ia seorang diktator yang mencoba membangun demokrasi.
Ada sebuah anekdot. Pada suatu hari, dalam usahanya memperbaiki sistem politik Turki yang macet karena sikapnya sendiri yang otoriter, Kemal bertemu dengan seorang pegawai muda Kementerian Pendidikan, Hassan Ali namanya. Sang Presiden mengundang anak muda itu duduk di dekatnya. Dengan sikap seorang guru, Kemal mengujinya soal-soal dasar matematika: Apa itu titik? Apa itu garis?
Hassan bisa menjawab dengan baik. Lalu Kemal bertanya: ”Apa itu nol?”
Hassan Ali: ”Definisi nol yang terbaik adalah sesuatu yang sama dengan diri saya di depan tuan, Pasha.”
Kemal: ”Tapi nol itu penting!”
Hassan Ali: ”Begitu juga saya, Pasha.”
~ Majalah Tempo Edisi. 27/XXXIIIIII/27 Agustus – 02 September 2007 ~