Babel
Mereka tiba di tanah Sinear di sebelah timur. Mereka berniat menetap. Mereka berencana membangun ”kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit”. Mereka ingin ”cari nama”, agar tak ”terserak ke seluruh bumi”.
Tapi kisah Alkitab tentang Menara Babel ini berakhir muram. Tuhan murka. Tampaknya Ia melihat niat itu sebagai siasat manusia meraih kekuasaan adidaya. Tuhan pun turun ke Sinear. Ia buncang orang-orang itu ke pelbagai penjuru, dan Ia kacau-balaukan bahasa manusia hingga mereka tak saling mengerti lagi.
Kenapa itu yang dilakukan-Nya? Kenapa Ia gagalkan proyek menara itu, juga ide merumuskan satu identitas (”cari nama”) itu, dan ia ”serakkan” manusia ke seantero bumi? Kenapa tak dibiarkan-Nya mereka jadi ”satu bangsa dengan satu bahasa”?
Saya bukan penafsir Alkitab. Saya hanya mengulang pertanyaan yang tak kunjung selesai dijawab. Anda bisa katakan, tindakan Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si kuasa menghadang lawan yang hendak menandinginya. Tuhan, dalam Kitab Perjanjian Lama (dan juga dalam sajak Amir Hamzah), memang disebut ”cemburu”.
Tapi Anda juga bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuhan nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal, tanpa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana saja.
Anda juga bisa kemukakan, dari nasib itu bisa datang sebuah kearifan. ”Tiap peradaban dan tiap kebudayaan adalah sebuah Menara Babel,” kata Reinhold Niebuhr pada 1937. Ketika mengemukakan itu, theolog Protestan itu menyebut perlunya sikap rendah hati, juga dalam agama.
Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah (uneasiness). Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui takaran ”manusia yang terbatas”. Sementara itu manusia sendiri ”terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatasan kebudayaan dan peradabannya”, dan mengira mampu menangkap kebenaran yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel membantah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama orang lain dengan (istilah saya) sebuah ”etika kedaifan”.
Bahasa adalah paradigmanya. Bahasa bukanlah pucuk super-tinggi yang dapat menangkap seluruh ”kenyataan”. Di atas bumi, bahasa adalah percobaan terus-menerus dalam ruang & waktu untuk menerjemahkan dan diterjemahkan—sebuah proses yang selamanya dirundung frustrasi.
Ada satu ilustrasi yang tajam tentang frustrasi itu. Dalam film Babel karya sutradara Alejandro González Iñárritu, Chieko—si gadis bisu-tuli di Tokyo yang riuh—tersisih, ditolak, dan putus asa ketika ia hendak menjangkau orang lain dengan kata-kata yang bukan miliknya. Bahkan juga ketika ia mencoba memakai bahasanya sendiri: tubuhnya yang nyaris tak bersuara.
Diperankan dengan memukau oleh Rinko Kikuchi, Chieko mengungkap malangnya posisi manusia dalam ”penjara bahasa”, untuk memakai ungkapan Nietzsche: selalu ingin berkomunikasi, tapi terperangkap kurungan sempit.
Chieko, si gagu, yang juga terperangkap, harus mengguratkan huruf di selembar kertas bila ia bertanya-jawab. Ia menempuh proses terjemahan yang tak mudah—dan kita tahu terjemahan selalu tidak pas. Jika Chieko terus-menerus ditolak, baik dalam pertandingan voli maupun dalam hubungan seks, ia mengingatkan kita akan kondisi kita sendiri. Seperti tampak pada si bisu, komunikasi itu sesuatu yang mustahil, tapi niscaya, atau sebaliknya niscaya, tapi mustahil.
Juga di tengah derap dunia baru yang katanya ”tanpa perbatasan” kini….
Di sinilah Babel—dibuat pada 2006—sebuah bantahan. Ia meruntuhkan ilusi tentang sebuah ”dusun global”. Film ini memaparkan bagaimana manusia, dipertemukan di perbatasan, justru dihubungkan oleh salah paham yang kejam dan paranoia yang pekat. ”Dunia Ketiga” tampak sebagai teror kekal bagi ”Dunia Pertama”. Di tepi gurun, turis Amerika itu waswas bahkan terhadap es batu bikinan Maroko (”Kau tak tahu dari air apa itu dibuat,” katanya). Di bagian lain, seraya memasuki Kota Meksiko, si bocah Amerika dengan cemas berkata, ”Kata Mama, Meksiko itu berbahaya.”
Babel, sebuah portmanteau, memang serangkai cerita tentang kontak antarmanusia yang tak terelakkan tapi tak membuahkan pertemuan. Seorang anak gembala di bukit-bukit Maroko ingin menguji ampuhnya senapan yang baru dibeli bapaknya, dan seorang perempuan Amerika, seorang turis, luka parah karena tindakan yang tak sengaja itu. Pemerintah Amerika pun berteriak, ”Teroris!” dan seorang bocah ditembak mati. Sementara itu, Amelia, batur Meksiko yang bekerja di sebuah keluarga Amerika, membawa kedua anak majikannya ke kampung untuk ikut pesta pernikahan yang asyik. Tapi keasyikan dan hangatnya persaudaraan berakhir di tapal batas yang angkuh, di hadapan kekuasaan Negara yang brutal: gerbang imigrasi. Dari Tokyo, seorang turis Jepang penggemar berburu menghadiahkan senapannya ke seorang Maroko. Tapi tanda persahabatan itulah yang menghancurkan hidup sebuah keluarga miskin.
Manusia terserak, komunikasi retak.
Tapi tak selamanya jalan hanya buntu. Ada sebuah dialog pendek yang ditulis Kafka tentang Babel:
”Apa yang kau bangun?”
”Aku ingin buat lorong di bawah tanah. Harus ada kemajuan biarpun sedikit. Posku di atas sana terlampau tinggi.”
”Kami menggali liang Babel”.
”Liang”, bukan ”menara”: kiasan untuk sesuatu yang rapat ke bumi, seperti kubur, lorong yang akrab dengan mereka yang dicampakkan dan yang tak berdaya. Di sinilah—bukan di langit—komunikasi berlangsung sebagai empati, bahkan di antara sesama yang berbeda sejarah.
Dalam filmnya, Iñárritu menampakkan momen itu di se-buah rumah buruk di satu kota kecil Maroko. Perempuan Arab tua penghuni rumah itu membelai rambut si wanita Amerika yang luka dan terbujur ketakutan; ia merawatnya, ia menenangkannya, ia bisikkan Surah Alfatihah di dekat kupingnya. Meskipun wanita itu tak dikenalnya.
~ Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXV/19 – 25 Februari 2007 ~