Havana
Jalan aspal yang telah gripis. Deret bangunan yang tak pernah lagi digilapkan cat. Tembok yang dilapukkan sawang dan debu. Gedung tepi pantai yang mungkin berumur 100 tahun tapi kini seakan hanya duduk, seperti kakek yang melamun, mungkin tentang masa silam yang pernah rapi, mungkin tentang engsel-engsel yang telah lekang, jendela yang sudah kehilangan kejutan.
Havana. Sedan-sedan tahun 1950-an. Orang yang berkerumun, duduk di bus kota, atau berdiri lusuh. Havana. Dinding dengan poster ”Che” Guevara. Slogan lama yang yakin, ”Revolusi itu abadi”, ”Kami percaya pada mimpi”. Rel sepur yang berkarat. Sekolah balet dengan keramahan kekal anak-anak, para penari kecil di ruang luas yang sepi, seorang pianis tua yang memainkan Ravel di sudut dan berjalan pulang dengan kaki pincang.
Havana. Penjara yang sudah ditinggalkan, pintu-pintu sel yang bernomor tinta hitam. Havana, Kuba. Jika kemajuan adalah kapitalisme, Kuba sebuah masa lalu. Ia seakan-akan sebuah pulau ganjil, dalam tudung sosialisme yang kuno, terpisah dari ekonomi pasar yang global, gigih, ganas. Milenium akan berakhir, sebuah abad akan hilang, dan masa lalu acap kali sama dengan sesuatu yang mati.
Tapi Walter Benjamin benar ketika ia menulis tentang Trauerspiel: ”Kematian adalah sebuah keabadian yang ironis.” Mungkin sebab itu kita punya nostalgia. Nostalgia menghibur kita dari rasa cemas, dari hidup yang ternyata hanya numpang lewat. Nostalgia—itulah yang mungkin menyebabkan film terakhir Wim Wenders Buena Vista Social Club jadi memikat. Dalam film ini seakan-akan masa silam hidup kembali, tanpa luka, kepedihan, kekejian.
Film ini dibuka dengan adegan seorang tokoh yang amat tua tapi periang dan debonair, Compay Segundo. Pemusik berusia 90 tahun itu datang ke sebuah sudut Havana. Ia mencari gedung yang dulu jadi tempat ”Buena Vista Social Club”, sebuah klub eksklusif di bukit sebelah timur kota. Tapi adegan pembuka ini tak berlanjut. Kita tak tahu apakah Compay berhasil menemukan lokasi itu. Kita tak tahu adakah klub itu masih diingat orang karena ia mungkin termasuk yang harus hancur oleh sosialisme yang menang di Kuba sejak 1959.
Yang kita tahu akhirnya ialah bahwa ”Buena Vista Social Club”, dalam film ini, hanya mengacu ke sebuah kehidupan musik yang telah dilupakan di Kuba sendiri (tanpa kita ketahui kenapa dilupakan). Masa lalu itulah yang disusun kembali oleh seorang pemain gitar musik blues dari New York, Ry Cooder. Di tahun 1996, Cooder mengumpulkan sejumlah musisi tua Kuba—umur antara 70 dan 80-an tahun—untuk sebuah proyek rekaman. Hasilnya laku keras. Dua tahun kemudian Cooder datang bersama Wenders. Sebuah film dokumenter pun lahir.
Tapi film ini tak disajikan sebagai ekspresi seorang sineas. Wenders tak mencuri pentas dari sejumlah seniman musik tua yang seakan-akan balik dari kematian, dan menemukan dunia kembali buat pertama kalinya: begitu antusias, begitu gembira, dan sebab itu mengharukan. Laki-laki hitam yang pesek dan bertopi pet seperti Putu Wijaya itu, misalnya. Ibrahim Ferrer lahir di Santiago 72 tahun yang lalu. Ia tinggal di sebuah kamar di apartemen yang apak bersama istrinya. Ruang itu agak gelap. Di atas lemari, ada sebuah patung dan altar bagi Santo Lazarus yang diberi sesaji sebatang cerutu dan segelas rum. Ibrahim seorang religius. Ia menyanyikan ciptaannya, De Camino a La Vereda, dengan sajak yang tanpa arah tapi selalu berseru, !Oigame compay! No deje el camino por coger la (”Dengar kawan! Jangan lepas dari jalan yang benar”).
Di film itu, duduk di kamar tamunya yang reyot, Ibrahim mengatakan sesuatu yang mungkin akan disetujui Castro dan para rahib: ”Kami telah diselamatkan dari milik. Kalau tidak, kami sudah akan musnah.” Selintas kita dengar ia memuji masyarakat yang lahir setelah Revolusi, dan satu baris dalam lagunya memang merekam kembali ketertindasan si kecil dari majikan perkebunan di masa lalu: ”Ay, h�yanle, h�yanle, h�yanle al mayoral!” (”Lari, lari, larilah dari si pengawas”), sebab al mayoral suka merampas jatah harian buruh pemotong tebu. Namun akhirnya bahkan Ibrahim sendiri tak bisa lari. Ia mungkin tak sadar sepenuhnya: seluruh usaha Ry Cooder dan Wenders menunjukkan bagaimana ia diproses kembali oleh kapitalisme. Ia sudah dilupakan orang di Kuba, tetapi ada bisnis rekaman yang membiayai perjalanan nostalgia itu. Ada investasi, pemasaran, perencanaan laba-rugi. Di toko-toko Towers Records di New York, kini kita akan lihat dua CD dengan gambar wajah Ferrer.
Dalam satu adegan akhir film Wenders, penyanyi miskin itu melihat-lihat New York setelah sebuah konser yang sukses di Carnegie Hall. Ia berjalan di senjakala Avenue of the Americas, di antara kilauan etalase dan lampu reklame. Ia terpesona. Masa lalu itu kalah sakti dibanding masa depan. Ada yang mengatakan, nostalgia menyenangkan karena masa lalu adalah sesuatu yang aman. Ia bisa kita atur bagaimana ia tampil di dunia kita. Dulu sosialisme juga yakin bahwa masa depan bisa kita atur, untuk melahirkan dunia yang lebih baik, dan sebab itu banyak orang yang bersedia gugur, dibunuh, dipenjarakan, dibuang. Tetapi Buena Vista Social Club mengusik hati karena Havana justru menunjukkan bahwa sosialisme bisa menyentuh karena ia sesuatu yang nostalgik. Havana seperti ikut menyanyikan Veinte A�os Hoy represento al pasado No me puedo conformar Lagu itu dibawakan oleh Omara Portuando, satu-satunya perempuan dalam album Buena Vista Social Club. Di studio rekaman yang sederhana, paras Omara tampak seperti lanskap kota Havana, anggun tapi sayu: ”Aku wajah masa lalu. Aku tak berani hadapi perubahan.”
13 September 1999