Pram
Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali-tiap tahun seperti tak disangka-sangka-dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.
Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.
Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka-dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman “Demokrasi Terpimpin” Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman “Orde Baru” ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya-dan ia disambut.
Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx-seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute’s Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah “pesimisme pemikiran, optimisme kehendak”.
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu-bahwa “mereka pernah punya seorang ayah”.
Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.
George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang “paling anarkis” dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat “anarkis” itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak “mengetahui”. Dan “mengetahui” bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.
Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?
Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara “komunis” dan antikomunis”-seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.
Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: “Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian.”
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati-mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.
~ Majalah Tempo No 08, 27 Apr - 3 Mei 1999 ~